R.L. Stine Burung Gagak Bertuah (Goosebumps 2000# 7) Selamat Datang Di Abad Baru Dunia Horor Goosebumps Series 2000 "Aku akan membuat segala kesulitanmu lenyap," kata Iris. Ha? Apa maksudnya? Wade Brill memang kesal sekali pada kakaknya, Micah, yang selalu iseng menggodanya dan sering mempermalukannya di depan teman-temannya. Itu sebabnya ia datang pada Iris, yang katanya ahli dalam membalas dendam. Tapi apa maksud Iris dengan ucapannya itu? Apa ia akan melenyapkan Micah? Wade ingin membatalkan permintaannya, tapi sudah terlambat, sebab Iris sudah mengucapkan manteranya. 2000 Kali Lebih Syereeem Alih bahasa: Sutanty PT Gramedia Pustaka Utama Jl. Palmerah Selatan 24-26 Jakarta, 10270 ============================== Ebook Cersil (WWW.ebookHP.COM) Gudang Ebook http://www.zheraf.net ============================== Ebook by: Farid ZE Blog Pecinta Buku - PP Assalam Cepu 1 WADE BRILL. Kutuliskan namaku dengan satu jari di cermin kamar mandi yang beruap, lalu kuhapus lagi dengan handuk. Kamar mandi masih panas dan penuh uap, karena aku baru saja mandi. Kupandangi bayangan diriku di cermin. Aku mulai menyikat rambutku yang pendek dan pirang kecokelatan, lalu dengan hati-hati kusibakkan poniku ke belakang dan kupakai baretku. Mungkin aku akan pakai gaun putihku yang baru ke pesta ulang tahun Erin, pikirku. Dan sepasang sandal putihku. Pesta Erin akan diadakan di pekarangan belakang rumahnya. Pesta barbecue. Tapi di luar sedang hujan. Dari sini bisa kudengar suara air yang memukul-mukul jendela kamar tidurku. Biar saja, ah, pikirku. Gaun putih itu adalah gaunku yang paling bagus. Kuanggap saja cuaca di luar cerah dan panas. Aku cepat-cepat keluar dari kamar mandi untuk berpakaian. Aku tidak ingin terlambat datang ke pesta. Hujan memukul-mukul kaca jendela, dan hampir-hampir membuat suara TV di mejaku tidak kedengaran. Kuambil gaun putihku dari gantungan. Perhatianku. tertuju pada film di TV: Pembalasan Manusia Cacing. Aku sudah pernah nonton film itu. Benar-benar konyol. Tentang cacing-cacing yang tumbuh sangat tinggi dan menyerang sebuah desa nelayan karena mereka tidak mau dijadikan umpan. Tapi aku suka nonton apa pun yang dalam judulnya ada kata pembalasan. Aku sering memikirkan tentang pembalasan. Kalian juga pasti begitu... kalau punya kakak lelaki seperti kakakku. Micah Brill. Itulah namanya. Micah. Alias si Tengil. T-E-N-G-I-L. Micah sudah tujuh belas tahun, lima tahun lebih tua daripadaku. Ia jangkung, ganteng, dan rambutnya berombak. Kalau melihatnya, kalian pasti mengira ia jenis yang suka mengganggu orang yang seukuran dirinya. Tapi ia malah selalu menggangguku. Sejak aku lahir. Bukan cuma mengganggu malah. Ia suka menjebakku. Memperlakukanku seperti budak. Mempermalukanku di depan teman-temanku. Minggu lalu beberapa temanku datang ke rumah. Kami nonton video bersama-sama. Pembalasan Makhluk-makhluk Bayangan. Tadi sudah kubilang, kan, aku suka nonton apa pun yang di judulnya ada kata pembalasan. Teman-temanku yang datang adalah Carl Jeffers, Julie Wilson, dan saudara lelakinya, Steve. Kuakui, aku naksir berat pada Steve. Ia anak kelas delapan. Benar-benar oke. Jadi, aku juga berusaha tampak oke. Tapi Micah mengacau semuanya. Ia masuk dengan penuh gaya ke ruang tamu, ketika film sedang seru-serunya. “Yo, bocah-bocah! Lihat nih, topi baruku bagus, tidak?” Tahu, tidak? Micah memakai celana dalamku di kepalanya. Celana tua warna merah muda pemberian Bibi Claire, dengan tulisan SENIN di bagian pinggulnya. Teman-temanku tertawa. Wajahku jadi panas. Merah padam. Micah menari-nari sekeliing ruangan sambil mengibar-ngibarkan celana itu di depan wajah semua orang. Ia tampak senang sekali. “Wade, hari ini kau pakai yang ada tulisan RABU, tidak?” goda Julie. Ha ha. “Ayo kita periksa!” seru Micah. Ia menerkamku dan mencoba menurunkan celana pendekku. “Jangan ganggu aku, jelek!” teriakku. Kuhantam perutnya sekeras mungkin dengan kepalaku. Ia jadi agak terhambat. Tapi ia berhasil menarik celana pendekku dan melemparkannya pada Steve. YAAIII! Bayangkan seperti apa adegannya kalau difoto. Cowok yang kutaksir duduk memegang celana pendekku di tangannya. Hidup serumah dengan Micah benar-benar menyebalkan. Ia selalu menggerataki isi laci-laciku, selalu mengendus-endus di kamarku Dan aku tahu sebabnya Ia mencari buku harianku. Tapi ia tak bisa menemukannya. Aku punya tempat rahasia untuk menyembunyikan buku itu. Tidak akan kubiarkan Micah mempermalukanku dengan membaca buku harian itu. Tidak usah, ya. Micah sering meminjam barang-barangku tanpa permisi. Pernah ia mengambil dua CD kesayanganku dan memberikannya pada temannya. Ia selalu berusaha membuatku susah. Ia tahu aku tidak sepandai dirinya. Ia tahu aku mesti belajar keras. Jadi, apa yang ia lakukan? Setiap aku sedang belajar untuk ulangan, ia menyetel stereonya sekeras mungkin. Kadang-kadang aku ingin menjerit rasanya. Jangan sampai aku mulai mengomel tentang Micah. Bisa tak ada habisnya. Pernah Mom melarang Micah keluar pada suatu malam Minggu kalau ia belum membersihkan kamarnya. Ia sudah tujuh belas tahun, tapi suka melemparkan barang-barangnya begitu saja di lantai, seperti anak dua tahun. “Wade, tolong aku dong,” bisiknya. “Kalau kau mau membereskan kamarku kau kubayar dua puluh lima dolar deh.” Wah, lumayan juga. Maka kubereskan kamarnya yang menjijikkan. Tidak mudah, lho. Percayalah Rasanya seperti membersihkan rawa-rawa. Aku malah menemukan seekor tikus mati di kolong tempat tidurnya, sudah membusuk dan menjijikkan. Butuh waktu seharian untuk menyelesaikan pekerjaanku. Lalu Mom memeriksa kamarnya, dan memujinya sambil menepuk-nepuk punggungnya. Setelah Mom turun, aku menuntut bayaranku. “Ayo bayar, Micah. Dua puluh lima dolar.” Ia memandangku seolah-olah aku sudah sinting. “Dua puluh lima dolar?” serunya. “Dari mana aku dapat uang dua puluh lima dolar?” Lalu ia lari ke luar untuk menemui teman-temannya. Apa aku bisa mengadu pada orangtuaku? Tidak bisa. Mereka menganggap Micah hebat. Ia selalu dapat nilai A. Ia menjadi kapten di tim sepak bolanya, dan kemungkinan ia akan mendapatkan beasiswa penuh untuk masuk college. Bagus, kan? Tapi ia jahat. Kadang-kadang aku coba mengeluhkan kelakuannya. Kemarin, waktu Mom pulang dari supermarket, aku menyambutnya di pintu. “Mom, Micah menggerataki lemariku lagi. Dia memakai celana dalamku di kepalanya dan memamerkannya di depan teman-temanku.” Mom tertawa. “Kakakmu memang lucu sekali.” Lalu Mom melewatiku, masuk ke dapur untuk menaruh belanjaannya. “Tapi, Mom...,” protesku. “Dia menggodamu karena dia sayang padamu,” Mom balik berseru padaku Yeah. Aku percaya saja deh. Kakakku memang pengganggu paling menyebalkan, nomor satu. Itu sebabnya aku suka nonton film- film tentang pembalasan dendam. Tapi sekarang aku sedang tidak punya waktu untuk nonton TV. Aku mesti bersiap-siap untuk ke pesta Erin. Aku duduk di tepi ranjang dan mengenakan sandal putihku, sama sekali tidak menyadari bahwa sebentar lagi aku akan mengalami hari yang paling buruk dalam hidupku. Tapi mungkin juga hari yang paling baik... 2 "TAPI, kenapa Mom tidak bisa mengantarku?” Aku mengikuti Mom dari kamar tidur ke kamar mandi, lalu ke kamar tidur lagi, sementara Mom bersiap-siap. Ia akan menghadiri banquet di rumah sakit bersama Dad. Ayahku memang dokter. (banquet: upacara pesta makan malam-editor) “Kami tidak membawa mobil,” sahut Mom. “Kami akan dijemput Dr. Tolbert.” “Mobil akan dipakai Micah,” Dad, yang sedang memakai dasi, ikut bicara. “Kan sudah kubilang, dia akan mengantarmu ke pesta itu.” “Tapi Micah masih ada di gym!” protesku. “Mestinya dia sudah pulang setengah jam yang lalu." (gym: ruang/gedung olahraga-editor) “Dia tidak akan lupa, kok,” kata Dad. Aku menghela napas. Micah sudah ribuan kali melupakan janji denganku. Untuk minggu ini saja. Mom memasang gelangnya di tangan, lalu bercermin. Setelah itu, ia menciumku sekilas. “Senang-senang, ya, di pesta Erin. Sayang sekali hari ini hujan lebat.” Kudengar Dr. Tolbert sudah membunyikan klakson. Aku memandangi dari balik jendela, ketika orangtuaku pergi. Di mana Micah? pikirku dengan marah. Di mana dia? Untuk kesekian kalinya, aku bercermin lagi, lalu mulai mondar-mandir gelisah sambil mengawasi angka-angka di jam digital radioku. 6:20... 6:21... 6:22... Aku benar-benar marah. Pesta Erin pasti sudah dimulai. Dasar si Micah tolol. Mungkin dia masih di gym, pikirku. Main basket dengan teman-temannya, dan lupa sama sekali padaku. Atau mungkin dia ingat, tapi tidak peduli. Aku akan terlambat datang ke pesta itu. Aku tidak akan bisa menikmati semuanya. Aku mau meledak nih. Aku sangat marah. Mau meledak. “YAAAIII!” jeritku nyaring. Aku mesti melakukan sesuatu. Kusambar telepon dan kuhubungi Carl yang tinggal di blok berikutnya. Ia pasti bisa menjemputku. Tapi ibunya yang menjawab teleponku. “Oh, sayang sekali, Wade, aku sudah mengantar Carl ke rumah Erin sekitar setengah jam yang lalu.” Yah, Carl sudah berada di pesta. Ia tidak perlu bergantung pada Micah. Micah, alias si T-E-N-G-I-L. Bisakah aku jalan kaki ke rumah Erin? pikirku. Aku memandang hujan yang turun lebat di luar. Tidak, ah. Terlalu jauh. Lebih dekat kalau aku ke gym saja. Jaraknya cuma empat blok. Aku akan jalan kaki ke gym dan mencari Micah, pikirku. Kupandangi sandal putihku. Kena hujan sedikit tidak apalah, pikirku. Toh tidak jauh. Kuambil payung, lalu aku keluar ke tengah hujan. "Ohhh,” desahku ketika air dingin menerpa kakiku. Aku menginjak kubangan dalam rupanya. Dengan mengertakkan gigi aku terus berjalan. Air deras mengalir di sepanjang tepi jalan. Kupegang payungku erat-erat untuk melawan terpaan angin. Mendadak... B-R-R-E-E-T! Tiupan angin yang sangat kencang menghantam payungku... membuatnya kuncup ke luar. Air hujan menyiramku seperti gelombang laut. Dalam sekejap aku basah kuyup. Mulai dari poniku sampai ke sandalku. “Micah!” geramku, ,.“awasss kau!” Kubuang payungku ke tong sampah dan aku terus berjalan. Rambutku basah kuyup dan gaunku menempel basah. Aku terus maju satu blok lagi. Lalu kulihat mobil itu melaju ke arahku. Aku tidak sempat menjerit. Ataupun melompat menghindar. Mobil itu melesat di sampingku. Berhenti dengan suara berdecit-decit sambil menyemburkan air kubangan. Air itu memercik ke tubuhku, dingin dan deras. “Ohh.” Sambil menggerutu aku mundur terhuyung-huyung. Kuhapus air yang melesat ke mataku dengan dua tangan. “Gaunku!” teriakku. Basah kuyup, dan kotor oleh lumpur cokelat yang lengket. Si pengemudi mobil membuka kaca jendelanya. "Perlu tumpangan?” Micah! Ia tertawa terbahak-bahak. Sepasang matanya yang gelap bersinar-sinar senang. “Kau... kau... kau jahat!” teriakku. “Akan kuadukan pada Mom dan Dad Kau menyetir seperti orang gila. Mereka tidak bakal mengizinkan kau punya mobil.” Itulah yang diimpikan Micah selama ini. Ia sangat ingin punya mobil sendiri. Pada musim panas ini, ia memberi les renang di kolam renang di kota, bayarannya ditabung untuk membeli mobil. Micah angkat bahu. “Itu kan tidak disengaja.” Ia mengulurkan tangan dan jendela mobil dan mencubit pipiku. Kucoba menggigit jari-jari tangannya, lalu aku naik ke mobil. Habis, mau bagaimana lagi? Sepanjang jalan ke rumah Erin, aku marah-marah dalam hati. Micah menurunkanku di ujung jalan masuk. Aku keluar dan membanting pintu dengan marah, tanpa mengatakan apa-apa “Senang-senang, ya,” ledek Micah. “Eh, omong-omong, kau cakep deh.” Lalu ia melaju pergi... mencipratkan lumpur lagi ke arahku. Aku bergegas ke pintu depan. Di dalam kudengar suara anak-anak tertawa dan mengobrol. Air menetes-netes dan dahiku. Aku hampir-hampir tak bisa melihat bel pintu. Erin membuka pintu dan ternganga. “Wade! Kau kenapa?” “Jangan tanya-tanya,” gerutuku. “Aku suka lho, baju cokelatmu itu,” katanya. “Lucu sekali,” geramku. “Ha ha. Punya baju untuk kupinjam, tidak?” Aku mengikuti Erin ke kamarnya. Ia menyodorkan sehelai kaus dan jeans lusuh padaku. “Selamat ultah,” kataku. “Aku lagi marah sekali pada Micah, sampai-sampai kado buatmu ketinggalan di rumah.” “Kau ganti pakaian saja di kamar mandi,” kata Erin. Di kamar mandi, kulepaskan sandalku yang penuh lumpur dan kucuci di wastafel, lalu kusibakkan rambutku yang basah kuyup dan kucoba membersihkan lumpur di wajahku. Ketika hendak meraih handuk, aku menyenggol sesuatu. Benda itu jatuh ke lantai. Setelah mengeringkan wajah, baru aku melongoknya. Ternyata sebundel majalah. Aku membungkuk untuk mengambilnya. Tidak kusadari bahwa saat-saat itu begitu penting, dan bahwa sebentar lagi kehidupanku akan berubah. Salah satu majalah itu jatuh terbuka. Kuambil dan kupandangi halamannya. Ada sebuah iklan di situ. Iklan yang aneh. Hanya berupa kotak dengan alamat tercantum di dalamnya. Berikut tulisan: PEMBALASAN ADALAH SPESIALISASI KAMI. 3 PEMBALASAN. Kata favoritku. Kurobek iklan itu dan kumasukkan ke saku. Lalu aku ganti pakaian dan bergegas turun untuk ikut berpesta. *** Malam itu, sepulangnya ke rumah, kumasukkan iklan tadi ke lemariku, lalu kuambil buku harianku dari tempat rahasianya - di bawah kasurku. Aku hampir setiap hari menulis di buku harianku. Kubaca sekilas apa-apa yang telah kutulis selama beberapa minggu belakangan ini. Ada beberapa halaman tentang pergi main boling bersama temanku Carl, dan beberapa baris tentang betapa cakepnya Steve Wilson di mataku. Tapi selama sebagian besar musim panas, buku harianku penuh dengan catatan tentang hal-hal jahat yang dilakukan Micah padaku. Mudah-mudahan dia pergi jauh, masuk college (universitas) tahun depan, tulisku. Di Mars ada college, tidak, ya? *** Beberapa hari kemudian, hujan badai telah berlalu, dan sekarang ganti datang gelombang panas yang sangat terik. Carl dan aku pergi ke kolam renang di kota. Rasanya kami ingin berendam sampai musim gugur tiba. Carl dan aku sedang mengikuti lomba cannonball ketika sang lifeguard mendadak meniup peluitnya. Dan pengeras suara, manajer kolam mengumumkan, “Giliran orang dewasa.” (lifeguard: pengawas renang di laut/kolam renang) Terdengar gerutuan keras dari kolam, sebab pengumuman itu berarti semua anak mesti keluar dari kolam, sementara orang-orang dewasa berenang selama setengah jam. “Mau beli makanan kecil, tidak?” tanya Carl. Di kantin sudah ada segerombolan anak, hendak membeli apa saja yang dingin. “Ah, ramai,” sahutku. Kami lalu menghamparkan handuk di rumput. Julie Wilson sedang berbaring di dekat kami dalam bikininya. Steve duduk di sampingnya, sambil memutar-mutar Frisbee di satu jarinya. Pengeras suara terdengar gemeresik, lalu ada suara orang berdeham. “Perhatian,” kata suara itu kemudian. Bukan suara manajer kolam, tapi suara seseorang yang rasanya sangat kukenal. “Pengumuman konyol lagi,” gerutu Steve. “Sekarang, untuk menghibur Anda semua, Klub Renang Riverdale akan mempersembahkan pembacaan cerita yang baru, untuk didengarkan oleh para remaja sementara giliran renang dewasa berlangsung,” lanjut suara itu. “Ha?” Carl mengernyit. “Biasanya tidak ada acara begini.” “Hari ini,” kata suara itu, “kami persembahkan bacaan Buku Harian Wade Brill.” Aku terkesiap. Semua orang menoleh ke arahku. Dan sekonyong-konyong aku tahu, suara siapa itu. Suara Micah. “Tidak!” teriakku, “Beraninya dia!” Tapi ia memang berani. “Kebanyakan dari kalian tentu sudah kenal Wade,” kata Micah di pengeras suara. “Tapi kalau belum tahu, dia adalah cewek kurus yang berbaring di rumput itu, dengan rambut pendek pirang kecokelatan, memakai pakaian renang biru yang kebesaran untuknya.” Anak-anak mulai saling bergumam dan tertawa. Seorang cowok jangkung menunjuk-nunjuk ke arahku. Semua orang memandangiku. Aku ingin mati saja rasanya. Micah berdeham lagi. “Episode Satu: Kamis, 26 Juni. Pergi ke supermarket bersama Mom hari ini. Mom sedang memilih deodoran ketika Steve Wilson muncul di lorong yang sama. Potongan rambutnya baru. Pendek dan mencuat. Cakep sekali. Rasanya aku mulai naksir dia.” Pipiku memanas oleh amarah dan rasa malu. Bagaimana Micah bisa menemukan buku harianku? Semua orang di kolam menatap ke arahku. Rasanya mata mereka membakarku dengan panas. Aku tidak berani menatap Steve, tapi bisa kudengar ia tertawa bersama yang lainnya. Aku melompat bangkit dan lari ke kantor kolam renang. Aku mesti menghentikan Micah sebelum ia membaca lebih banyak. “Oh, ini ada yang asyik” Suara Micah terdengar lagi di seluruh kolam. Sabtu, 28 Juni. Hari ini Steve menyapaku. Memang dia sering menyapaku, tapi hari ini aku merasa cara menyapanya istimewa....” *** Pembalasan. Kata itu melekat di benakku malam itu dan keesokan harinya. Micah tidak boleh dibiarkan. Sudah dua belas tahun aku menanti untuk membalasnya. Sekaranglah saatnya. Kuambil iklan majalah itu dari lemariku dan kubaca berulang-ulang. PEMBALASAN ADALAH SPESIALISASI KAMI. Apa maksudnya itu? Apa iklan ini dipasang oleh perusahaan yang melayani pembalasan dendam? Mungkinkah itu? Tidak ada nomor telepon. Tidak ada keterangan lebih lanjut. Misterius sekali... Alamat yang tercantum di situ adalah Flamingo Road. Letaknya jauh, di sisi lain kota, di daerah yang sangat kumuh dan rawan. Aku tidak mungkin ke sana sendirian. Aku mesti mengajak Carl. Tapi dia sedang pergi beberapa hari bersama orangtuanya. Aku mesti menunggu. Tapi, sementara menunggu Carl, mungkin aku bisa merencanakan sedikit pembalasan, pikirku. Aku keluar ke pekarangan belakang, untuk berpikir. Panas sekali di luar. Matahari bersinar terik. Kupu-kupu ramai beterbangan di petak-petak bunga. PLETAK! “Dapat satu lagi!” suara Mom menembus lamunanku. Aku menoleh dan melihat Mom berlutut di kebun sayur, sedang menghantam cacing-cacing berwarna keperakan dengan sekop. Cacing-cacing itu melejit di tanah. Mom melemparkan semuanya ke ember. “Mom, menjijikkan sekali,” gumamku sambil geleng-geleng kepala. “Sesudah hujan lebat, cacing-cacing muncul semua,” kata Mom. “Aku sudah mulai mahir membuat mereka gepeng.” PLETAK! “Dapat!” “Iiih,” erangku. “Aku masuk saja, deh.” “Di dalam ada kakakmu,” kata Mom, “Bersama gadis yang ditaksirnya itu. Sophie Russel.” “Dia terlalu bagus untuk si jelek itu,” kátaku. Mom menatapku. “Wade, kenapa kau selalu sentimen pada Micah?” “Ha? Aku?” Aku menjerit marah, lalu berbalik dan masuk ke rurnah. Micah ada di dapur, berusaha mengambil hati Sophie. Aku berdiri di lorong dan mengintip mereka sejenak. Micah sedang memasukkan kopi ke mesin pembuat kopi. “Mau kopi?” tanyanya pada Sophie.”Aku gila kopi. Sehari mesti minum tiga cangkir.” Kupijat hidungku supaya ia tidak mendengar tawaku. Sehari tiga cangkir? Ia tidak pernah minum kopi. Dasar pembohong! “Aku mau setengah cangkir saja,” kata Sophie. “Susunya yang banyak.” Memuakkan sekali, pikirku. Aku ingin lari menjerit-jerit ke kamarku. Tap entah kenapa, aku tetap berdiri di situ. Aku mulai mendapat gagasan. Gagasan yang sangat brilian. Pembalasan. Akhirnya... 4 PLETAK! Mom masih menggepengkan cacing-cacing di luar. Dari situlah gagasanku muncul. Aku masuk ke dapur dan menyapa kedua orang itu. “Kalian sedang apa?” tanyaku dengan nada polos. “Bikin kopi?” Micah melotot padaku. Sorot matanya berkata, “Jangan mengacau, Wade, awas kau!” Aku nyengir lebar padanya, seperti adik kecil yang manis. Tidak usah cemas, aku memberi tanda. Aku akan ikutan main denganmu. Micah mengetuk-ngetukkan jemari ya di meja. “Kopi ini lama sekali mendidih. Aku sudah bosan di sini.” “Micah gila minum kopi,” dustaku sambil tersenyum manis pada Sophie. Micah tampak senang, tapi juga curiga. “Hei, bagaimana kalau kalian tunggu saja di ruang tamu, sambil nonton TV?” saranku. “Kalau kopinya sudah siap, akan kubawakan buat kalian.” Sophie tersenyum pada Micah. “Dia manis sekali, tidak seperti adik perempuanku.” “Yeah.” Kulihat Micah tampak heran sekali, tapi ia berkata, “Trims, Wade. Bisa bawakan cookies (kue) sekalian, tidak?” Cookies? Tidak masalah. Berikut kejutan istimewa buatmu. Kupandangi mereka keluar ke ruang tamu. Micah berhenti di depan cermin untuk melihat rambutnya. Ia sayang sekali pada rambutnya yang gelap dan berombak. “Ada orang yang katanya bisa menampilkanku di MTV,” katanya pada Sophie. Micah, P-E-M-B - 0-H- 0-N- G. Aku keluar ke pekarangan belakang. Mom sibuk sekali menggepengkan cacing-cacing, sampai-sampai tidak melihatku. Aku mengambil empat-lima ekor cacing yang gemuk. Iiih! Makhluk-makhluk basah dan licin itu menempel di tanganku. Aku bergegas kembali ke dapur dan memasukkan cacing-cacing itu ke cangkir kopi. Lalu kucuci tanganku tiga kali, berusaha menghilangkan rasa licin itu. Kopinya akhirnya siap. Kutuangkan ke dalam dua cangkir. Satu cangkir berisi cacing, satu lagi tidak. Lalu kutambahkan susu dan gula banyak-banyak, dan kubawa keduanya ke ruang tamu. Nah, kita lihat, benar tidak kausuka kopi, Micah! Sophie dan Micah duduk di sofa. Micah mengusap-usap rambutnya sendiri sambil membual bahwa ia akan membeli mobil bagus. Kuberikan kopi yang tanpa cacing pada Sophie, sementara untuk Micah, cangkir yang berisi cacing. “Trims, Wade,” kata Micah tanpa menatapku. Aku berlama-lama di ambang pintu, untuk mengamati Sophie mencicipi kopinya. Ayo minum, Micah, kataku dalam hati Minum minum. “Nah, begitu aku punya cukup uang, aku ingin beli Mustang lama,” kata Micah. Sophie mengangguk. “Mobil jenis itu memang bagus.” Cepat minum. Ayo dong... minum! Mataku terus terarah pada cangkir itu. Akhirnya Micah mengulurkan tangan hendak mengambil cangkirnya. Aku menahan napas Terus, Micah. Minum yang banyaaaak. Akhirnya aku bisa balas dendam juga. 5 MICAH mengangkat kopi itu ke bibirnya. Sophie menghirup kopinya lagi. Aku tidak bergerak. Tidak mengedipkan mata. Ataupun bernapas. Micah mengangkat cangkirnya lebih tinggi. Mendadak Mom masuk ke ruang tamu sambil terbatuk-batuk. “Mom?” teriakku. “Aku tersedak,” kata Mom “Kemarikan itu!” Ia menyambar cangkir di tangan Micah dan meminum isinya banyak-banyak. Aku terkesiap dan memukulkan kedua tanganku ke wajah. “Nah, sudah lebih baik,” kata Mom. “Aku tadi makan keripik kentang, dan... “ Ia minum lagi dari cangkir Micah. Dan ekspresi wajahnya berubah. Micah dan Sophie sama-sama menjerit ketika melihat seekor cacing merayap di antara bibir Mom. Mom mengerang kaget. Mulutnya bergerak-gerak. Cacing itu jatuh ke dagunya. Mom mengernyit jijik, mengambil cacing itu dari wajahnya dengan dua jari, dan memandanginya dengan sangat kaget. Lalu matanya beralih ke cangkir tadi. Seekor cacing lagi merayap keluar dari tepinya. Mom mengeluarkan suara seperti orang tersedak. Cangkir di tangannya jatuh ke karpet. “Wade yang membuat kopi itu,”. kata Micah. Ia menoleh padaku dengan tatapan menuduh. Mom. memandangiku dengan ternganga. “Ini... ini keterlaluan!” kata Micah. “Wade mencoba meracuniku. Dia sengaja memasukkan cacing ke dalam cangkir.” Mom tampak sangat marah. Wajahnya yang biasanya pucat berubah ungu. “Wade..!” geramnya. “Ini masalah serius. Kau mesti berhenti mengganggu kakakmu!” *** Tak ada pilihan. Aku mesti mendatangi pemasang iklan itu. Secepat mungkin. Carl pulang keesokan sorenya. Kutelepon dia dan kuceritakan seluruh masalahnya. Ia sebenarnya tidak mau menemaniku pergi, tapi aku tidak memberinya pilihan. Sesudah makan, kutunggu Carl di anak tangga depan rumah. Malam itu panas dan lembap. Bulan pucat keperakan bergantung rendah di atas pepohonan. Aku sudah membawa sepedaku ke jalan masuk rumah, supaya siap begitu Carl datang. Pintu depan terbuka. Micah dan Sophie melangkah keluar. Sophie tadi ikut makan malam. Micah sedang mempermainkan kunci mobil Dad di tangannya. “Akan kuantar kau pulang,” katanya. “Kalau kau mau naik mobil ayahku.” Sophie tertawa dan mengatakan ia mau. Mereka melewatiku, seolah-olah aku tidak ada. Kupandangi mereka masuk ke mobil. “Tunggu pembalasanku,” kataku pada diri sendiri. “Tak lama lagi kau tidak bakal bisa tertawa seperti itu lagi, Micah.” Micah menyalakan mesin mobil. Radio dibunyikan keras-keras. Lalu ia memundurkan mobil. “Tidaaak!” teriakku sambil melompat. “Micah... berhenti!” Kurasa ia tak bisa mendengarku karena berisiknya suara radio. Aku ternganga saat ia melindas sepedaku dengan mobil. Kututupi telingaku mendengar suara logam yang hancur. “Micah, berhenti! Berhenti!” teriakku. Tapi mobil terus melaju. Dengan berdebar-debar aku bergegas lari ke sepedaku. Sudah penyok parah. “Ini tak bisa dimaafkan,” kataku pada diriku sendiri. “Tak bisa lagi dimaafkan.” Tak lama kemudian, Carl datang naik sepeda. Ia berwajah bundar, dengan pipi tembam merah dan rambut pirang pendek. Dibukanya kacamatanya, lalu dibersihkannya dengan bagian depan kausnya, dan dipakainya lagi. “Itu sepedamu?” tanyanya sambil menunjuk. Aku mengangguk. “Micah?” tanyanya. Aku mengangguk lagi. “Ayo berangkat,” gumamku. Kupinjam sepeda Mom di garasi, dan kami berangkat. “Di mana sih tempat yang ingin kaudatangi ini?” tanya Carl. “Flamingo Road,” kataku sambil ganti gigi saat sepeda menanjak bukit. “Kau pernah ke jalan itu?” tanya Carl. “Belum. Tapi sudah kulihat di peta. Letaknya dekat rel kereta." “Yeah. Di Rickey Flats. Taman untuk trailer.” (Trailer: truk/kereta gandeng) “Jadi?” “Jadi?” kata Carl. “Itu bagian kota yang seram.” “Kau tidak takut, kan?” godaku. Kukira ia akan menjawab, “Tentu saja tidak.” Tapi Carl malah berkata, “Yeah, agak takut juga, sih.” “Aku juga,” kataku. 6 KAMI bersepeda ke ujung kota. Udara panas dan hening. Susah sekali untuk bernapas. Kausku basah oleh keringat. Hanya sedikit mobil yang kami jumpai di jalan. Rumah-rumah juga semakin kecil dan berdekatan. Kami melewati sederetan gedung apartemen yang sudah tidak berpenghuni, disusul sebuah lapangan kosong yang penuh sampah. Jalanan lalu menikung dan berubah menjadi jalan setapak berkerikil. Ban sepeda kami bergemeresik ribut di bebatuan. “Kita mengambil jalan yang benar, tidak?” tanya Carl. “Ku... kurasa ya,” sahutku. Kusibakkan poniku yang basah oleh keringat. Dua ekor anjing kurus sedang menarik-narik sesuatu dari tong sampah yang terbalik. Kudengar raungan sirene mobil polisi di kejauhan. Mendadak tidak ada lagi deretan lampu jalan. Kami mengayuh sepeda di jalanan berbatu, menuju kegelapan. Terdengar decit ban mobil di belakang kami, lalu suara tapak sepatu di jalan. Suara orang-orang yang berlari cepat. Seekor binatang melolong di dekat situ. Lolongan panjang dan sedih. Di dalam salah satu bangunan yang pendek dan gelap, seorang laki-laki tertawa. “Aku... aku tidak suka mendengar semua ini,” kataku terbata-bata. “Kau yakin kita mengambil jalan yang benar?” tanya Carl pelan. Aku menelan ludah. “Tidak begitu yakin.” Kuhentikan sepedaku dan kuturunkan kakiku ke tanah. Kami berhenti di samping sebuah pagar besi yang tinggi. Bau asam menerpa hidungku. Bau ikan, sampah, telur busuk... “Kau bisa baca tanda itu?” Carl menyipitkan mata di balik kacamatanya, pada sebuah plang logam yang ada di pagar. Aku mendekat ke sana. “Rickey Flats. Ini tempatnya.” Kami turun dan sepeda dan menuntunnya ke pagar tinggi itu, sampai menemukan pintu gerbang. Pintu itu berderit ketika kudorong. Kami masuk ke taman trailer tersebut. Di dalamnya banyak sekali deretan trailer dan rumah mobil yang sudah bobrok. Setiap trailer memiliki sepotong pekarangan rumput yang kecil. Beberapa pekarangan penuh dengan barang rongsokan - mobil yang sudah karatan, tumpukan kardus, dan sebagainya. Banyak di antara trailer tersebut yang terang oleh cahaya lampu. Aku mendengar suara tangisan bayi, mencium bau masakan, dan suara jeritan seorang wanita yang berteriak keras sekali dalam bahasa yang tidak kupahami. Kami menuntun sepeda kami pelan-pelan, sampai menemukan Flamingo Road. Carl memberi isyarat ke arah seorang wanita tua yang sedang duduk di pekarangan trailer-nya yang kecil. Wanita itu tersenyum lebar pada kami dan melambaikan tangan. “Mau beli ayam jantan?” panggilnya. “Tidak, terima kasih,” sahutku. Heran, suaraku kok pelan sekali, dan gemetar. Rupanya aku ketakutan. Mestinya kami tidak datang malam-malam kemari. Mungkin mestinya kami sama sekali tidak datang ke tempat ini. Punggungku merinding. Akhirnya kami tiba di trailer nomor 45. Lampu-lampu Natal merah dan hijau berkelap-kelip di atas trailer itu, meski sekarang baru bulan Juli. Dalam cahaya lampu itu, bisa kulihat bahwa trailer tersebut dicat warna ungu cerah. Carl menoleh padaku; matanya berkedip-kedip di balik kacamatanya. Wajahnya jadi tampak merah, hijau, merah, hijau dalam kerlap-kerlip lampu. “Kau yakin mau masuk ke situ?” tanyanya. Aku ragu-ragu. Lebih mudah kalau kami berbalik saja dan pulang ke rumah. Tapi lalu kubayangkan Micah mengacak-acak kamarku, mencuri barang-barangku, buku harianku. Micah yang menabrakkan mobilnya ke sepedaku. Micah yang mengacau hidupku setiap hari, dengan segala cara. Micah, alias M-U-S-U-H. “Yakin,” sahutku pada Carl. Kami memarkir sepeda kami dan mengetuk pintu. Lalu menunggu beberapa saat. Kemudian, dari dalam trailer, terdengar suara jeritan yang sangat menakutkan. Bukan seperti suara manusia. 7 KUSAMBAR tangan Carl. Aaaah! Jeritan seram itu lagi. “Apa itu” bisikku. Carl menghapus setitik keringat di dahinya. “Ada yang menjerit?” Pintu terbuka dengan keras. Seorang wanita bertubuh kecil dalam pakaian warna ungu muncul. Rambutnya panjang dan kusut, tergerai hingga ke bahu. Ia mengenakan lipstik hitam yang membuat bibirnya tampak mencuat di wajahnya yang pucat. Seekor burung gagak hitam bertengger di bahunya. “Aaah!” jerit gagak itu. Kenapa burung itu menjerit seperti itu? Apa ia mencoba memperingatkan kami agar pergi? Tenang, Wade, kataku pada diri sendiri. Jangan terpengaruh. Itu kan cuma burung. Apa benar itu cuma burung? Kenapa mata binatang itu terus menatapku lekat-lekat seperti itu? “Masuklah,” kata si wanita tua dengan halus. Ia mundur dan menepi, supaya Carl dan aku bisa masuk. Kami dibawanya ke sebuah ruangan kecil yang gelap. Aku menoleh saat ia menutup pintu di belakang kami. Sekarang kami terjebak di sini, pikirku. Aku menarik napas panjang dan menahannya. Tenang, Wade, tenang. "Biasanya aku tidak kedatangan tamu malam-malam begini.” kata si wanita tua. Bibirnya yang berlipstik hitam membentuk senyuman. “Kalian membaca iklanku?” Aku mengangguk dan berdeham “Ya, aku..." Wanita itu menepukkan kedua tangannya. “Calon klien rupanya. Bagus! Duduklah.” Kami duduk di ruang tamu, di kursi berlapis bahan warna ungu. Sebuah TV kecil ditempatkan di depan tembok, dengan sebuah kandang burung yang besar di atasnya. Di atas lemari di samping TV ada sebuah tengkorak. Tengkorak manusia. Aku ternganga. “Itu tengkorak sungguhan?” Wanita itu masih terus tersenyum. “Kemungkinan.” Ia menarik burung gagak itu dari bahunya dan membelainya. Sepasang matanya yang hitam berkilat-kilat seperti arang di wajahnya yang amat sangat pucat. “Namaku Iris,” katanya sambil membelai pungung gagak itu “Dan ini Maggie.” Carl dan aku memperkenalkan diri. "Katakan halo, Maggie,” perintah Iris. Maggie memiringkan kepala dan menatap dingin pada kami. "Aah," desah Iris. "Maggie sedang tidak sopan hari ini, ya?” Si burung gagak mengembangkan sayapnya. Aku merinding lagi. Ada kesan yang sangat jahat dan mirip manusia pada burung itu. Aku melirik Carl. Dia memperhatikan itu, tidak, ya? “Kalian berdua ingin balas dendam?" tanya Iris, masih membelai si gagak. “Tidak,” sahutku. “Cuma aku.” Mata Iris bersinar-sinar. “Membalas dendam pada orangtuamu?” “Ha? Tidak. Pada kakak lelakiku,” kataku. Iris meletakkan si gagak di meja, lalu mencondongkan tubuh ke arahku dengan mata membara. “Coba bilang, kenapa kau perlu bantuanku.” Kuceritakan segalanya tentang Micah dan kelakuannya yang menyebalkan. Aku sangat gugup, sampai-sampai suaraku gemetar dan aku lupa beberapa hal yang ingin kuceritakan. Untunglah Carl membantuku. Setelah aku selesai bercerita, Iris memandangiku, lama sekali. “Balas dendam macam apa yang kauinginkan?” tanyanya kemudian. Aku balas menatapnya. Si gagak memperdengarkan suara CAW-CAW pelan, mengatupkan dan membuka paruhnya bergantian. Ini tidak sungguh-sungguh terjadi, pikirku. Ini cuma lelucon. Semacam gurauan. Iris juga bukan sosok nyata. Tak mungkin. “Kau benar-benar bisa membalaskan dendam orang lain?” tanyaku kemudian. Iris mengangguk dengan serius, matanya masih tetap menatapku. “Maggie dan aku punya kekuatan,” katanya dengan berbisik. Kata-katanya membuatku kembali merinding ngeri. Jahatkah dia? pikirku. Apa aku telah membuat kesalahan besar? "Kakak lelakinya sering membuatnya malu,” Carl berkata. “Wade ingin balas mempermalukannya.” “Lebih dari itu,” kataku. “Aku ingin membuat dia terhina. Aku ingin menghancurkannya. Aku ingin membuat dia merasa tak berarti. Aku ingin memberi pelajaran padanya, supaya dia tidak jahat lagi padaku.” Aku menarik napas. “Musim gugur ini dia akan naik ke kelas dua belas,” lanjutku. “Aku ingin menghancurkan tahun sekolahnya kali ini, sepenuhnya.” “Mmm.” Iris menggosok-gosok dagunya dengan jemarinya yang berkuku panjang dan hitam. Carl bergerak-gerak gelisah di kursinya. Iris berkata, “Bayaran apa yang akan kauberikan untuk pembalasan dendam ini?” “Bayaran?” tanyaku. “Ya,” kata Iris. “Kalau aku membalaskan dendammu, apa yang akan kauberikan padaku sebagai bayaran?” Aku merasa ngeri. Mendadak aku menyadari, apa yang sedang kulakukan ini. Aku pernah nonton film tentang hal-hal seperti ini. Juga membaca cerita-cerita horor. “Kau... kau suka mengumpulkan jiwa manusia, bukan?” kataku tergeragap. “Kau akan mengabulkan permintaanku... asalkan aku menyerahkan jiwaku sebagai gantinya.” 8 IRIS tertawa terbahak-bahak “Kau terlalu banyak nonton TV,” katanya. “Aku tidak tahu apa-apa tentang mengumpulkan jiwa manusia. Aku cuma buka usaha di sini. Kalau aku dibayar dengan jiwa, aku bisa kelaparan.” Aku menatapnya tak mengerti. Karena sangat bingung, aku hampir-hampir tak bisa berpikir jernih. Carl berbisik padaku, “Wade, kurasa dia ingin tahu kau punya uang berapa untuk membayarnya.” “Uang?” seruku. “Aku tidak punya uang sepeser pun.” Iris menggeleng-geleng, lalu mengambil gagaknya lagi. “Coba dengar, Maggie. Akhirnya aku dapat klien juga, tapi dia tidak punya uang Bagaimana ini?” Ia mendesah. "Begini saja, Wade, kau akan kuberi percobaan gratis.” “Terima kasih!” seruku. Iris menyipitkan mata. “Mungkin nanti baru kutentukan, apa yang bisa kauberikan sebagai bayaran untukku.” “Apa?” tanyaku tercekat. Iris menggeleng. “Nanti saja. Akan kupikirkan dulu.” Ia menyibakkan rambut hitamnya yang panjang ke balik bahunya. “Bagaimana, setuju, tidak?” Aku menelan ludah. "Ku... kurasa setuju.” Iris menjabat tanganku. Kuku-kukunya yang panjang menggores telapak tanganku. Telapak tangannya halus dan lembap. “Jadi... mau balas dendam pada kakakmu Micah," katanya sambil memejamkan mata. “Coba kupikirkan.... “Aha, aku punya gagasan yang sangat bagus. Bagus sekali” Ia berkomat-kamit tanpa suara sambil mengelus punggung gagaknya sekali, dua kali... tiga kali. Lalu ia kembali membuka mata. “Nah, sudah.” “Ha? Apa yang kaulakukan?” tanyaku. “Pembalasan dendam yang bagus. Kakakmu akan mengalami kecelakaan mengerikan... dan dia tidak akan pernah pulih lagi.” “Tidaaak!” jeritku. “Tidak, jangan! Itu terlalu mengerikan. Bukan itu yang kuinginkan. Cabut lagi! Cabut lagi!” “Maaf,” kata Iris dengan dingin. “Sudah terlambat.” 9 "MENGERIKAN sekali!” seru Carl. Aku melompat bangkit “Cabut lagi” teriakku pada Iris. “Kau tak bisa melakukan itu pada Micah. Cabut lagi... sekarang.” Kutarik-tarik rambutku dengan dua tangan sambil berteriak panik, “Apa yang telah kulakukan? Oh, tidak! Apa yang telah kulakukan?” Iris menggeleng-geleng. Rambutnya jatuh menutupi wajah. “Begitu manteranya sudah diucapkan, kurasa..." Ia menyibakkan rambutnya, mulutnya membuka menjadi huruf 0 besar “Oh, tunggu, tenang dulu. Aku melupakan sesuatu tadi. Ada bagian yang ketinggalan .” Aku menarik napas panjang. “Maksudmu... mantra itu tidak bekerja?” "Tiidak!” sahut Iris. “Ada yang ketinggalan. Ini kan pembalasan dendammu. Berarti kau juga mesti mengelus punggung Maggie tiga kali.” "Jadi, Micah tidak akan kenapa-kenapa?” tanyaku. "Tidak akan ada kecelakaan?” “Kecelakaan? Tidak. Kecuali kau menginginkannya.” Iris mengulurkan Maggie yang bertengger di lengannya. “Banyak aturannya kalau ingin menggunakan gagak ini,” katanya. “Banyak sekali. Ini. Pikirkan pembalasan dendammu, lalu elus punggung Maggie tiga kali, dan keinginanmu akan terlaksana.” “Syukurlah,” kataku pelan. Aku memang ingin membuat Micah menderita, tapi aku tak ingin ia benar-benar celaka. “Ayo,” kata Iris “Pilih pembalasanmu. Aku tidak bisa menunggu terus.” Carl dan aku mendekati si burung gagak. “Bagaimana nih?” tanyaku pada Carl. “Pembalasannya mesti setimpal, tapi jangan yang terlalu kejam.” Carl mengernyit dan berpikir keras, lalu mulai menggaruk-garuk lehernya. “Kenapa kau garuk-garuk begitu?” tanyaku. Ia mengernyit lagi padaku. “Aku gatal.” “Itu saja,” kata Iris. “Itu bagus sekali.” “Ha?” Carl dan aku sama-sama ternganga memandangnya. “Kita buat kakakmu kegatalan,” kata Iris, matanya bersinar-sinar penuh semangat. Aku menggeleng. “Dibikin gatal? Pembalasan macam apa itu?” Iris mendekatkan tubuhnya padaku. “Rasa gatalnya tidak akan hilahg,” katanya pelan. “Kita buat dia semakin kegatalan kalau dia menggaruk. Lalu rasa gatal itu menyebar dan terus menyebar, ke seluruh tubuhnya. Termasuk giginya, bola matanya, lidahnya. Dan dia tidak akan bisa menghentikannya.” “Hmm...,” aku masih ragu. “Dia tidak akan bisa melakukan apa pun,” Iris melanjutkan dengan senang. “Tidak bisa pergi ke mana-mana. Cuma bisa di rumah saja, menggaruk dan terus menggaruk, sampai semua kulitnya kena garuk.” “Bagus juga kedengarannya,” kataku. “Ya,” Carl sependapat. Iris mengulurkan gagak di tangannya, lalu memejamkan mata dan mengelus punggung Maggie tiga kali. “Sekarang kau,” katanya sambil mengulurkan gagaknya padaku. Aku mengulurkan tangan, tapi lalu bertanya dulu, "Ini benar-benar gratis?” Iris mengerutkan kening. “Tidak usah dipikirkan.” Apa maksudnya itu? Apa Ia hendak membohongiku? Biar saja. Pokoknya aku ingin balas dendam pada Micah. Kupejamkan mataku dan kuucapkan keinginanku, lalu kuelus punggung gagak itu sekali, dua kali... tiga kali. 10 CARL dan aku mengayuh sepeda secepat mungkin. Pulang. Aku menyerbu masuk ke ruang santai dengan terengah-engah, mencari Micah. Dad sedang duduk di kursi malas, membaca novel misteri. “Wade, dari mana saja kau?” tanyanya sambil menutup bukunya. “Aku... aku meminjam sepeda Mom,” kataku tergeragap, berusaha mengatur napas. “Carl dan aku... kami jalan-jalan naik sepeda.” Dad menyipitkan mata padaku. “Dengan sepeda ibumu? Sepedamu sendiri di mana?” “Ditabrak Micah,” seruku. “Dia memundurkan mobil dan menabrak sepedaku. Sekarang sepedaku rusak total.” Dad berdecak-decak sambil menggeleng-geleng. Kukira ia akan berkata, “Micah akan kuhukum nanti.” Tapi Dad malah bergumam, “Aku yakin dia tidak sengaja. Mestinya kau tidak meninggalkan sepedamu di jalan masuk, Wade.” “Aaaah!” Aku ingin mencekik Dad deh rasanya. Lalu Mom masuk. “Ini dia orangnya,” katanya sambil tersenyum padaku. “Ayo makan hidangan penutup. Siapa yang mau hidangan penutup? Kita semua pergi begitu saja sehabis makan tadi.” Micah turun tangga dengan berisik. Kami berempat lalu beranjak ke ruang makan. Mom memotong kue tar cokelat yang tadi dibelinya. Dad menyendok es krim vanila. "Kau tahu tidak, kau tadi menabrak sepedaku?” tanyaku dengan marah pada Micah. Micah mengambil sendok es dari Dad dan menyendok dua porsi besar es krim. “Sepeda jelek itu?” tanyanya. “Mudah-mudahan ban mobilnya tidak rusak gara-gara menabrak sepedamu.” “Bisa tidak kita bicara yang menyenangkan kali ini?” tanya Mom sambil melotot padaku. Lalu ia tersenyum pada Micah. “Jarang sekali bisa makan malam bersamamu.” "Yeah,” gerutuku. “Dia selalu keluar, bikin masalah dengan teman-temannya yang sinting.” “Setidaknya aku punya teman,” balas Micah. "Sudah, sudah, Wade,” keluh Mom. Kok aku? Kenapa Mom cuma mengkritikku? Micah mulai bicara tentang mobil Mustang yang ingin dibelinya. Untuk kesekian kalinya ia minta Mom dan Dad meminjamkan uang padanya, supaya musim panas ini ia sudah bisa memiliki mobil itu. Aku tidak mendengar jawaban orangtuaku. Aku menulikan telinga. Kupandangi Micah. Dan kutunggu. Menunggu rasa gatal itu muncul. Menunggu ia mulai menggaruk dan terus menggaruk sampai meliuk-liuk kegatalan tanpa ampun. Micah menyuap potongan kuenya yang terakhir, lalu bersendawa keras. Mom dan Dad tertawa. Semua tingkah Micah selalu dianggap lucu. Mulai gatal, kataku dalam hati. Ayo, Micah, mulai gatal. Micah mengetuk-ngetukkan jemarinya dengan tak sabar, sementara kami menghabiskan kue kami. Ia tampak sangat gelisah. Tapi tidak kegatalan. Kupusatkan mataku padanya. Aku tidak ingin ketinggalan melihat kalau ia mulai kegatalan. Aku ingin menikmáti setiap saat pembalasan dendamku. “Ada yang mau es krim lagi?” tanya Dad sambil mengangkat sendok es krim. Micah mengambil garpunya. Dia akan mulai menggaruk dengan garpu itu, pikirku. Ini dia. Serangan gatal akan dimulai. Tapi tidak. Micah mengetuk-ngetukkan garpunya di meja, lalu mengangkat tangan dan mulai mengetukkan garpu itu di kepalaku. “Hentikan!” teriakku. Kudorong tangannya jauh-jauh. Ia mengambil kue tar cokelatku dengan garpu itu, lalu menyuapnya. Mom dan Dad tertawa lagi. Aku tidak peduli. Aku tahu bahwa tak lama lagi akulah yang akan tertawa. Tapi kapan? Kapan? Kenapa ia tidak kegatalan juga? Akhirnya aku tidak sabar lagi. “Micah,” kataku, kau tidak merasa ada yang aneh?” "Tidak seaneh tampangmu," balasnya. Ia mengambil potongan kue terakhir di piringku, lalu bergegas naik ke kamarnya. *** Mestinya aku bertanya pada Iris, berapa lama manteranya baru bekerja, Kumatikan lampu meja di kamarku dan aku berbaring di bawah selimut. Cahaya bulan keperakan menymari tirai-tirai jendela. Bayangan pepohonan menari-nari di dinding. Mungkin baru besok pagi Micah akan kegatalan, pikirku. Mungkin Iris membuat mantranya bekerja besok. Aku menguap. Kakiku sakit karena lama mengayuh sepeda tadi. Aku cepat tertidur. Nyenyak. Kamarku masih gelap ketika aku terbangun. Kupandangi jam radio. Pukul lima seperempat pagi. Kenapa aku terbangun? Punggungku gatal. Agak nyeri. Aku hendak menggaruknya, tapi tanganku tak sampai. Kugosok-gosokkan punggungku di kasur. Tidak ada gunanya. Kulitku seperti terbakar, dan rasa gatal itu menyebar dengan cepat. Aku menggaruk dengan dua tanganku ke belakang. Sekarang seluruh punggungku sudah gatal. Gatal sekali. Aku duduk tegak dan menggosok-gosokkan punggungku ke papan ranjang yang terbuat dari kayu. Kugaruk bahuku. “Oh, tidaaak,” erangku “Tidaaak.” Aku gatal... dan rasa gatal itu menyebar dengan cepat. 11 KUGOSOK-GOSOK sisi tubuhku. Lenganku. Lututku. Kucoba untuk tidak menggaruk, tapi aku tidak puas hanya dengan menggosok. “Oooh.” Sambil mengerang kegatalan, akhirnya aku mulai menggaruk. Mula-mula pelan, tapi tidak enak. Kulitku gatal sekali. Aku menggaruk lebih keras. Rasa dingin merambati tubuhku. Aku mulai gemetar dan merinding. Dan terus menggaruk seperti anjing kena kutu. “Tolong,” gumamku. “Aku perlu... pertolongan.” Aku terhuyung-huyung ke kamar mandi. Kubanting pintu dengan keras. Bagian belakang leherku gatal berdenyut-denyut. Rasanya seperti ada ribuan serangga merayapi tubuhku, kulitku, mencubit dan menggigitku. Aku mulai mencari-cari dengan panik di lemari obat. Pasti ada obat gatal di sini, pikirku. Aku menemukan lotion untuk obat penawar poison ivy. Dengan tangan gemetar kuoleskan lotion itu di bahu dan lenganku. (lotion: air pembersih, poison ivy: jenis tumbuhan berbulu halus yang bisa menyebabkan gatal di kulit-editor) Mudah-mudahan berhasil, doaku. Ayolah... Kugaruk-garuk kakiku. Jari-jari kaki dan lututku juga gatal. Lotion itu sama sekali tidak menolong. Sekarang kulitku rasanya gatal dan lengket. Aku mandi air panas saja, pikirku. Kuisi bak dengan air dan kulepaskan baju tidurku. Aku meliuk-liuk, berusaha menggaruk punggungku. Sekarang gigiku juga mulai gatal. Aku berendam di dalam bak air panas. Ayo... ayo... Percuma. Tidak berhasil. Bagian dalam telingaku gatal! Mataku juga. Kugosok-gosok, terus dan terus, sampai kelopak mataku serasa terbakar. Aku keluar dari bak. Sekujur tubuhku gemetar. Gigiku gemeletuk. Mesti cari pertolongan. Mesti kembali ke Iris. Aku bergegas ke kamarku sambil terbungkuk-bungkuk menggaruk kaki. Aduh, tidak! Kakiku berdarah. Kulitku terkelupas kena garukanku rupanya. Apa aku bilang saja pada Mom dan Dad? Tidak ah! Mereka tidak akan percaya padaku. Mereka tidak bisa menolong. Aku mesti kembali ke Iris. Sambil gemetar hebat dan berusaha keras untuk tidak menggaruk, kukenakan jeans dan kausku Seluruh tubuhku berdenyut-denyut, seolah ada ribuan serangga menggerumuti kulitku. Belum pukul enam pagi. Di luar masih agak gelap. Biar saja. Kuangkat telepon dan kupencet nomor Carl. Ia menjawab dengan suara mengantuk, pada deringan keempat. “Halo?” Suaranya masih berat oleh kantuk. "Mwwwammm," kataku. Aduh, tidak! Tak mungkin ini terjadi! "Siapa ini?” tanya Carl dengan marah. "Mwww!” erangku “Mwwwww.” "Siapa pun kau, ini tidak lucu!” teriak Carl.”Bikin orang terbangun!” "Mwww!" seruku. Sambungan diputus. "Mwwww!" Aku tak bisa bicara. Lidahku gatal sekali. Panas dan perih, seperti mati rasa. Lidahku tidak mau bergerak! Seluruh tubuhku seakan mati rasa. Aku tidak tahan lagi! Ow! Ow! Ow! Kakiku gemetar. Kugaruk leherku. Seluruh kulitku perih dan sakit. Kusikat rambutku dengan gemas, mencoba menghentikan rasa gatal di rambutku. Kulit kepalaku... telingaku... Bisakah aku naik sepeda Mom ke tempat Iris? Mungkin kalau aku mengayuh super cepat, rasa gatalnya tidak terlalu terasa, pikirku. Selesai berpakaian, aku hampir menjerit ketika memasukkan kakiku yang berdenyut-denyut ke dalam sepatu. Kulitku... kulitku... bagai terbakar... terbakar. Tak ada piihan. Aku mesti mencoba. Tapi bisakah aku menemukan tempat Iris lagi di antara sekian banyak trailer dan rumah mobil? Di mana ya alamatnya? Iklan itu. Alamatnya ada di iklan itu. Sambil menggaruk bahuku, aku mencari-cari di atas meja rias. Tidak ada di situ. Di mana ya? Di mana iklan itu? Di saku jeans-ku. Tanganku sakit dan gatal saat aku mengorek-ngorek isi sakuku. Tidak ada juga. Di mana iklan itu? Di mana? Bagaimana aku bisa menemukan Iris? 12 TAK ada pilihan. Aku mesti mendatangi Iris. Secepatnya. Aku tak bisa bicara, dan hampir-hampir tak bisa berjalan. Seluruh tubuhku gatal. Gatal sekali, sampai sakit rasanya. Aku megap-megap menghirup udara. Rasa sakit ini menyebar di mana-mana, hinga aku sulit bernapas. Bahkan bagian dalam hidungku juga gatal. Tak usah memikirkan alamatnya, pikirku. Temukan trailer-nya. Aku mesti menemukannya! Aku tersandung-sandung keluar rumah dan meyambar sepeda Mom di garasi. Bisakah aku menaikinya? Kedua tanganku gemetar, juga seluruh tubuhku. Rasa dingin bergantian menyerang punggungku. Dengan terengah-engah kutarik tubuhku ke sadel dan kupaksakan kakiku untuk mengayuh. Dengan tubuh condong ke depan, kupegang erat-erat setang sepeda. Aku ingin terus mnggaruk-garuk. Dengan mencengkeram setang sepeda, tanganku jadi tidak bisa menggaruk. Matahari pagi belum terbit. Awan berat menggantung rendah di langit. Aku mengayuh di tengah cuaca yang suram dan kelabu, melewati kota, toko-toko yang gelap dan kosong, menyusuri rel kereta api, menuju taman trailer itu. Semuanya begitu kelabu dan berkabut, seolah aku mengayuh di tengah mimpi yang berbayang-bayang. Akhirnya aku menemukan taman trailer itu. Kupelankan laju sepedaku, menyusuri pagar besi yang tinggi. Punggungku gatal, perutku juga, begitu pula kedua lengan dan kakiku. Wade, jangan menggaruk! perintahku pada diriku sendiri. Tanganku gemetar hebat, sampai-sampai aku mesti membuka gerbang dengan dorongan bahuku. Kutinggalkan sepedaku di samping gerbang, lalu aku mulai berjalan cepat di sepanjang deretan trailer. Sambil jalan, kubenamkan tanganku ke saku celana, supaya aku tidak menggaruk. Di mana ya? Di mana trailer Iris? Guruh menggelegar di kejauhan. Awan badai berkumpul di atasku. Taman itu gelap seperti malam. Seekor anjing menggonggong di dekat-dekat situ. Ada cahaya muncul dari sebuah trailer karatan di depanku. Seorang lelaki mengintip ke luar, lalu cepat-cepat menutup tirai lagi. Semua trailer itu gelap dan kelabu. Seluruh dunia tampak kelabu dan semakin gelap. Setetes air hujan jatuh menimpa dahiku yang gatal. Aku berbelok dan berlari di deretan lain. Whoa. Aku berhenti. Apa aku pernah kemari? Kenapa trailer-trailer ini kelihatannya sudah pernah kulihat? Aku membalikkan tubuh. Ya, aku sudah memeriksa deretan ini tadi. Tapi dari arah mana aku datang? Aku berbalik lagi. Mana pagar depan itu? Mana gerbangnya? Aku tersesat. Aku kehilangan arah. Aku menunduk dan melihat bahwa aku sedang menggaruk lenganku dengan keras, tanpa menyadarinya. Kupaksakan tanganku masuk kembali ke saku celana. Lalu aku mulai berlari-lari kecil lagi, sambil mencari-cari di antara deretan panjang trailer dan rumah mobil. Aku tak bisa menemukannya. Aku benar-benar tersesat. Sekarang bola mataku yang gatal. Mataku berair. Air mata menetes di wajahku yang juga terasa gatal an panas. Aku hampir-hampir tak bisa melihat. Aku berhenti dan menarik napas panjang, sambil bersandar di salah satu rumah mobil. Lalu kudengar suara CAAAW CAAAW. Maggie! Ya! Aku berlari dengan gembira, mengikuti suara gagak itu. Dan aku berseru senang ketika melihat trailer ungu itu. Tidak ada cahaya lampu, tapi aku tak peduli. Aku bergegas ke pintu dan menggedornya sekeras mungkin. Akhirnya pintu dibuka dan aku tersungkur jatuh ke dalam. “Heh?” Iris terperanjat. Ia berdiri di depanku dalam mantel ungu longgar. Rambut hitamnya tergerai kusut di bahunya “Mau apa kau kemari?” tuntutnya. “Mwwwam!” sahutku. Lidahku gatal sekali dan tak mau bergerak. Begitu pula langit-langit mulutku. “Mwwwaa! Muhhhn!” Iris ternganga dan mengangkat tangan ke pipinya, mengetuk-ngetuk wajahnya dengan kuku-kukunya yang hitam. “Mwwwam!” teriakku. Tidak tahan lagi. Aku mesti menggaruk. Dengan panik kugaruk leherku dan punggung tanganku. Terus menggaruk, seperti binatang “Aduh” seru Iris. Disambarnya tanganku dan ditariknya aku ke dekatnya. “Kau kegatalan, ya?” Aku mengangguk. “Mwwwaum.” “Mantraku,” serunya. “Ada yang salah.” Ia menepuk dahinya. “Mwwwum maaawwm!” seruku sambil membuat gerakan-gerakan dengan liar. “Aku tidak bisa,” kata Iris, masih memegangi tanganku. “Aku tak bisa menghentikannya. Aku cuma memulainya, tapi tidak tahu cara menghentikannya. Aku terperenyak. Tubuhku gatal luar biasa. Aku gemetar. Gigiku gemeletuk. Seluruh tubuhku berdenyut-denyut. Di seberang ruangan, si burung gagak berbunyi nyaring di kandangnya. Sambil berjuang menarik napas, kuangkat lenganku, menunjuk ke kandang itu. “Mwwaam! Mwwwam!” Iris menyipitkan mata padaku, lalu menoleh ke burung itu. "Kalau aku mengucapkan mantra lagi, mungkin bisa untuk memunahkan mantra yang pertama,” katanya. "Kalau aku mengucapkan mantra yang berlawanan..." "Maaaww!” teriakku panik. Kudorong ia dengan dua angan ke arah kandang itu. Cepat! pikirku. Tolong dicoba! Coba! Cepat! Aku berdiri gemetar, seluruh tubuhku serasa terbakar. Iris mengulurkan tangan ke dalam kandang, dan mengeluarkan Maggie. Didekatkannya burung itu ke wajahnya, lalu ia bicara berbisik, “Kulit halus, kulit mulus. Berikan Wade kulit halus dan mulus.” Lalu ia menggosok punggung Maggie tiga kali. Kemudian didekatkannya burung, itu padaku. “Cepat. Wade gosok punggung Maggie.” Tanganku gemetar hebat, hingga aku nyaris menjatuhkan Maggie dari tangan Iris. Akhirnya aku berhasil mengangkat tangan ke punggung gagak itu dan menggosoknya sekali, dua kali... tiga kali. Tubuhku masih gatal dan berdenyut-denyut. Kupandangi gagak itu. Dan menunggu. Menunggu ada perubahan. Menunggu... menunggu... Tidak ada yang terjadi. ============================== Ebook Cersil (zheraf.wapamp.com) Gudang Ebook http://www.zheraf.net ============================== 13 IRIS berdiri memandangiku, mengamati, dengan kedua lengan terlipat erat di depan dada. "Tidak berhasil!” seruku. L.alu aku terperanjat. Aku sudah bisa bicara. "Hei!” seruku. “Lidahku... tidak gatal lagi!” Kugosok-gosok lenganku. Rasanya halus. Kuraba rambutku. Tidak gatal lagi. "Wow!” seruku. Aku mengempaskan tubuh ke lega. Senang sekali rasanya, tidak merasakan apa-apa. "Whew!" Iris mengembuskan napas dengan lega. "Senang sudah selesai," gumamnya sambil geleng-geleng kepala. Di luar jendela depan, sebersit halilintar membelah langit kelabu. “Selesai?” tanyaku. Iris menyibakkan rambut panjangnya yang menutupi wajah. “Maaf, tidak berhasil lagi.” Ia angkat bahu. “Kurasa keinginanmu telah terpenuhi.” "Tapi kau masih berutang satu pembalasan padaku!” desakku. Ia merengut. “Berutang padamu? Kau tidak membayarku sepeser pun. Bagaimana mungkin aku berutang padamu?” “Kau janji akan memberi satu pembalasan dendam untukku!” kataku sambil melompat bangkit dengan kakiku yang sudah mulus dan tidak gatal lagi. “Kau sudah janji, tapi kau malah... malah...!” “Oke, oke. Tenanglah.” Ia menyuruhku duduk kembali di sofa. Tapi aku mengikutinya ke tungku kecil, sementara ia menuangkan air ke sebuah ketel perak. “Kau berutang padaku,” ulangku. “Oke, oke.” Ia menaruh ketel itu di tungku. “Kita coba lagi. Tapi aku tidak bisa terus-menerus memberi gratisan padamu. Suatu saat aku akan minta dibayar.” Aku tidak mendengarkan. Aku sedang berpikir keras, pembalasan macam apa yang kuinginkan untuk kakakku. Sesuatu yang lebih hebat daripada sekadar rasa gatal. Gatal... gataL.. aku jadi menderita gatal gara-gara Micah. Tapi ia malah tenang-tenang saja. “Apa yang paling disuka Micah, ya?” tanyaku pada diriku sendiri. Menggangguku? Membeli mobil? Si Sophie itu? Rambutnya? Ya! Rambutnya! Sophie dan rambutnya! “Micah ada kencan besok, dengan Sophie,” kataku pada Iriis. “Dia ingin sekali membuat cewek itu terkesan. Sebelum menemuinya, dia mencobakan semua pakaian yang dimilikinya. Dan dia menata rambutnya selama berjam-jam. Dia lebih banyak memakai hair spray dan jelly daripada ibuku!” (hair spray: bahan kimia untuk merekatkan dan membuat kaku helai-helai rambut, jelly: untuk mencegah masalah rambut menipis dan rambut rontok.) Iris berbalik dan tungku. “Rambutnya?” Ia membelai-belai Maggie. “Kalau begitu, bagaimana kalau kita lakukan sesuatu pada rambutnya? Di depan Sophie?” "Hebat!” seruku. “Kita buat rambutnya rontok. Segumpal setiap kali... sampai dia jadi botak.” Iris mendecak. “Ya, biar rambutnya rontok pelan-pelan, dan menjelang malam dia sudah botak sama sekali." "Ya, ya! Begitu saja,” kataku. Iris menyipitkan mata padaku. “Kau yakin?” "Ya." "Ini pembalasan gratis terakhir untukmu, mengerti?” "Ya” kataku. “Pokoknya lakukan saja!” Iris memejamkan mata dan menggosok-gosok Maggie tiga kali. "Giliranmu,” katanya. Kupejamkan mataku dan kubayangkan Micah duduk dengan Sophie di Burger Barn. Lalu kubayangkan rambut Micah rontok di meja, jatuh ke burgernya, dan di pangkuannya. Sambil cekikikan kugosokkan tanganku ke punggung Maggie yang hitam. "Ini bagus sekali,” desahku. “Berhasil juga akhirnya membalas dendam.” 14 KEESOKAN malamnya aku mengamati Micah yang sedang siap-siap keluar dengan Sophie. “Jeans-mu kepanjangan,” komentarku. “Menyapu sampai ke sepatumu.” “Lalu kenapa?” sahut Micah ketus. “Aku suka begitu.” Ia menggelengkan kepala dengan wajah mengejek. “Kau memang bloon.” Lalu ia kembali bercermin di cermin kamar mandi, mengamati rambutnya. Aku duduk mengawasinya di tepi bak mandi. “Pergi sana!” bentaknya. “Kalau aku butuh penonton, aku akan menarik bayaran.” “Aku tidak akan mengganggumu,” kataku. Aku tidak perlu mengganggumu, pikirku sambil senyum-senyum sendiri. Iris yang akan membereskanmu. Siip! Micah menyisir rambut hitamnya yang berombak ke depan. Panjangnya melewati dagu. Lalu dengan hati-hati rambut itu kembali disisirnya ke belakang, rapi sekali. Kemudian ia memandangi penampilannya di cermin dan meletakkan sisirnya di wastafel. Aku melongok sisir itu, siapa tahu ada rambut yang rontok. Memang ada beberapa helai, tapi masih dalam batas normal. Rasa senang meliputi diriku. Helai-helai rambut itu akan merupakan awal dari malam yang amat sangat panjang bagi Micah. Micah menggosokkan gel di tangannya, lalu mulai mengoleskannya di rambutnya. Aku cekikikan. "Apa yang lucu, jelek?” tanya Micah. "Tidak ada,” sahutku polos. "Rambutku mencuat kaku kalau aku tidak pakai tahu?” bentaknya. “Kenapa kau tidak menulis saja di buku harianmu? Semua orang di kolam renang sudah memintaku membacakan cuplikan berikutnya." Wajahku merah padam, tapi kutelan kemarahanku. Tak lama lagi aku akan mendapatkan pembalasan dendamku, pikirku. Micah menggembungkan rambutnya sedikit, lalu mengeringkannya, lalu membasahinya lagi dan mengoleskan semacam jelly lain. Lalu dikeringkan lagi, dan digembungkan lagi. "Aku perlu gunting rambut sedikit, nih,” gumamnya. Kau akan dapatkan lebih dari itu, pikirku. Bukan sekadar gunting rambut sedikit. "Aku mau pergi,” katanya kemudian. “Silakan duduk di bak itu sepanjang malam. Aku punya kegiatan yang lebih menarik.” Ia mematikan lampu kamar mandi, padahal aku masih duduk di bak. Lalu didorongnya aku keras-keras ke dalam bak. “Kau perlu mandi, Wade,” katanya. “Hei!” protesku. “Dasar jelek!” Aku keluar dari bak dan mengikutinya turun tangga. Kupandangi ia masuk ke mobil Dad, lalu pergi. Senang-senanglah, Micah, pikirku. Sayang sekali kau tidak bawa topi, atau kantong kertas untuk menyimpan rambutmu! Aku ingin tertawa rasanya. Aku punya film, tidak, ya, di dalam kameraku? Akan kutunggu dia pulang, lalu kupotret begitu dia masuk. Aku perlu foto kepalanya yang besar dan botak untuk kusimpan. Kubawa kameraku ke bawah dan aku duduk di depan TV dengan agak kecewa. Sayang sekali rambut Micah tidak mulai rontok sebelum ia keluar dari rumah. Malam ini akan sangat menyenangkan bagikul kalau mantera itu bekerja. Lucu juga membayangkan Micah dan Sophie. Kubayangkan Sophie menyentuh rambut Micah, dan tahu-tahu sejumput rambut lepas di tangannya. Mungkin ia akan menjerit! Bagus sekali. Aku pergi ke dapur, membuat semangkuk besar popcorn. Lain aku kembali ke dekat TV. Dengan setengah melamun aku nonton acara dunia binatang, tentang penguin-penguin paling lucu di dunia. Pikiranku separuh melayang pada Micah, sambil asyik memasukkan popcorn ke mulutku. Baru beberapa saat kemudian aku merasa ada yang aneh. Kumasukkan tanganku ke mangkuk popcorn. “Hei!” Popcorn itu melekat di tanganku. "Ada apa ini?” Kupandangi tanganku. Terus memandangi. Terus... Lalu aku menjerit nyaring karena ngeri. 15 AKU membungkuk di kursi. Mangkuk itu jatuh dan isinya berantakan ke lantai Aku tidak peduli. Kucengkeram tanganku dan kucabuti butir-butir popcorn yang melekat, lalu kudekatkan ke wajahku dan kuamati dengan ngeri. “Tidak ini aneh sekali.” protesku. Di punggung tanganku mendadak tumbuh helai-helai rambut hitam pendek. Di kedua tanganku malah. Masih pendek, seperti janggut laki-laki. Kugosok-gosok rambut itu. Rasanya kaku dan tajam. Kusibakkan lengan kemejaku. “Tidaaaak!” teriakku ngeri. Lenganku juga penuh rambut “Tidak, oh, tidak!” seruku Dengan berdebar-debar aku lari ke cermin di lorong. Aku bukan serigala jadi-jadian, kataku pada diri sendiri. Dan ini kan bukan bulan purnama. Kerah kemejaku mendadak membuat leherku gatal. Aku membalikkan tubuh di depan cermin. “Oh, tidaaak!” Rambut hitam tebal juga tumbuh di belakang leherku. Bayang-bayang apa itu di bawah daguku? Tidak! Ada rambut juga di situ. Dengan ternganga kuangkat kedua tanganku di depan cermin. Sementara aku bercermin, rambut-rambut hitam kaku itu terus tumbuh, semakin panjang dan tebal, seperti bulu beruang. “Aaaah!" teriakku lagi ketika di dahiku juga tumbuh rambut. Perutku bergolak dan makan malamku rasanya akan keluar lagi. Dari dalam telingaku juga mencuat helai-helai rambut hitam. “Iris!” seruku. “Ini gara-gara Iris lagi.” Bagaimana ini bisa terjadi? Kenapa ia gagal lagi? Rambut hitam lurus itu menutupi mataku, seperti poni. Rambut di kedua lenganku mencuat di bawah bagian lengan kemejaku. Aku mengenakan celana pendek waktu itu. Aku menunduk dan melihat kakiku Sudah berbulu seperti kaki gorila. Tanganku! Tanganku tampak seperti cakar. Cakar binatang yang hitam berbulu. Rambut-rambut ini tumbuh cepat sekali. Bayanganku di cermin sama sekali tidak tampak seperti aku tagi Aku tidak lagi tampak seperti manusia. “Aku aku sudah jadi semacam... makhluk aneh” seruku. Aku berbalik dari cermrn, tidak tahan untuk melihat lebih lanjut. “Iris,” gerutuku. “Aku mesti mendatanginya.” Aku mulai berlari. Kedua kakiku bergesekan. “Ohhh.” Memuakkan sekali rasanya. Bulu bergesekan dengan bulu. Mom dan Dad sedang duduk di patio belakang sambil minum es teh. “Aku mau jalan-jalan,” seruku pada mereka. “Tidak lama” Aku lari ke garasi sebelum mereka sempat menoleh padaku. Aku melompat ke sepeda Mom dan mencoba mengayuh. “OWWW!” Bulu-bulu tebal itu tersangkut di jeruji sepeda. Aku jatuh dan mendarat telentang. Aku tidak bisa naik sepeda. Aku bangkit berdiri. Sepatuku penuh bulu. Kusibakkan bulu tebal yang menutupi mataku dan aku mulai berjalan kaki kerumah Carl. Ketika menyeberangi jalan menuju blok berikutnya, kudengar suara gonggongan anjing. Mulanya jauh, tapi lalu terdengar suara langkah kaki anjing di rumput. Aku menoleh. Seekor Labrador hitam yang besar menggonggong ribut dan mengitariku dengan gerakan hendak menggigit. “Pulang sana!” perintahku. “Anjing nakal! Pergi! Pulang!” Kucoba mengusirnya dengan kedua lenganku yang berbulu. Tapi anjing itu malah semakin bersemangat. Ia menggonggong keras dan terus mengitariku. Kucoba berlari. Tapi kakiku berat oleh bulu-bulu panjang itu. Seluruh tubuhku seolah beratnya ribuan kilo. Seekor anjing lain lari ke arahku, mengendus-endus kakiku yang berbulu, lalu mulai menggonggong nyaring dan marah. “Pulang! Pulang sana!” ratapku. Dua ekor anjing lagi muncul. Menggonggong berisik dan mengitariku. Kembali aku mencoba berlari. Seluruhnya ada enam anjing sekarang Galak, menggonggong, dan menggeram. Apa yang akan mereka lakukan? Apa mereka akan menyerangku? Aku benar-benar panik. “Aku bukan binatang!” teriakku. “Aku manusia. Pergi sana! Pergi!” Kulihat rumah Carl sudah tampak di sebelah sana. Tapi kelihatannya seperti jauh sekali. Sekarang anjing-anjing itu menggeram Beberapa sudah menundukkan kepala dan melengkungkan punggung, bersiap-siap menyerang. Mereka mengira aku beruang rupanya. Tentu saja, aku memang mirip beruang. “Pergi! Pulang!” pintaku. Anjing Labrador itu menggeram nyaring, lalu melompat. Cakar depannya menghantam bahuku yang berbulu dan tubuhnya yang berat membentur tubuhku. Sambil menjerit, aku jatuh ke tanah, tertindih anjing itu. “Tidak! Stop! Pergi! Pergi!” teriakku. Terdengar geraman dan lolongan di sekelilingku. Aku berusaha bangkit berdiri, tap seekor anjing herder menundukkan kepala dan menyerudukku jatuh ke rumput. Lalu, sambil menggeram dan mengendus, semua anjing itu menyerbuku. Aku merasakan embusan napas panas di wajahku dan gigi-gigi yang menarik-narik buluku. Mereka terus menyerangku.., terus... Tahulah aku bahwa riwayatku akan tamat. 16 Di tengah geraman anjing-anjing itu kudengar suara teriakan nyaring. Anjing-anjing itu juga mendengar Mereka berhenti menggonggong dan menggeram. Beberapa melepaskan gigitan mereka dan memiringkan kepala untuk mendengarkan. Cahaya kuning menyorot di rumput. "Pergi! Pergi! Husss!” teriak seseorang. Anjing-anjing itu ragu. Mereka menoleh ke arah cahaya tersebut. "Pergi! Cepat!” Ya. Semua anjing itu akhirnya berbalik dariku dan pergi, menyebar ke segala arah. Dengan kepala pusing dan jantung berdebar-debar aku bangkit dengan bertelekan pada satu sikuku yang berbulu. Kulihat Carl melompat dari beranda dan mendekatiku perlahan-lahan. "Wah!” katanya. Lalu kulihat ia mengambil penggaruk rumput dan mengacungkannya untuk dijadikan senjata. Aku berlutut dan mengibaskan rumput serta dedaunan yang melekat di bulu-buluku. Carl terus memandangiku sambil berjalan mendekat. Penggaruk itu tampak tegang di tangannya, siap untuk diayunkan. “Tenang, tenang,” katanya padaku “Kau lepas dari bonbin, ya?” Aku ingin menjawab, tapi tersedak. Aku berdeham dulu, dan mengibaskan bulu di mataku. “Tenang, tenang,” kata Carl takut-takut. “Tidak usah bilang tenang, tenang!” bentakku. “Kau ini kenapa, sih? Ini aku!” “Hah?” Penggaruk di tangannya terjatuh dan menimpa kakinya. Ia mengernyit kesakitan, tapi matanya tetap terarah padaku. “Kau... kau bisa bicara?” tanyanya terbata-bata. “Ini aku! Wade!” kataku. Carl terkesiap lagi, matanya seperti akan melompat keluar dari balik kacamatanya “Wade?" “Ini gara-gara Iris,” kataku sambil menunjuk tubuhku yang berbulu. Aku bangkit berdiri. Tidak mudah. Bulu-bulu ini sudah semakin panjang. Aku jadi tampak seperti tumpukan jerami berwarna hitam. “Kau.... kau... kau..." “Iris gagal lagi,” aku menjelaskan. “Mestinya dia membuat Micah menjadi botak.” “Anjing-anjing itu.“ kata Carl. “Mereka mengira aku beruang,” kataku, “atau mungkin seekor anjing yang sangat jelek.” “Kita mesti bagaimana?” seru Carl “Tebak saja,” kataku ketus “Kita kembali ke tempat Iris.” *** Tapi itu tidak mudah. Kami berjalan dalam bayang-bayang yang paling gelap. Kucoba menyembunyikan diriku dari semua orang. Banyak sekali anjing yang mengikuti kami sambil mengendus-endus dan menarik-narik buluku. Carl mencoba mengusir mereka, tapi tidak begitu berhasil. Di luar batas kota, beberapa remaja yang naik van mulai mengikuti kami sambil berseru-seru dari jendela, tertawa-tawa dan melemparkan gurauan konyol tentang aku. Ketika Carl membentak mereka, semuanya tertawa, lalu melaju pergi. Lalu terdengar sirene mobil polisi di jalan. “Pasti ada yang melaporkan melihat makhluk aneh,” seruku. “Sembunyikan aku! Di mana aku bisa bersembunyi ?” “Kau terlalu besar untuk bersembunyi,” kata Carl. Ia benar. Buluku yang panjang dan tebal membuatku tampak sebesar beruang raksasa. Dua mobil polisi melaju ke arah kami dengan sirene meraung-raung. Tak ada waktu untuk lari ataupun bersembunyi. Aku terpaku, menunggu mereka berhenti. Menunggu.. terus menunggu. Tapi mobil-mobil itu melaju melewati kami. Dengan berdebar-debar kupandangi lampu sirene itu sampai kedua mobil tersebut tidak tampak lagi. “Kita mesti cepat,” kataku pada Carl. Bulu-bulu itu masih terus tumbuh Berat sekali rasanya. Tidak lama lagi aku tidak akan bisa jalan lagi. Akhirnya kami berhasil mencapai taman trailer itu dalam dua puluh menit. Kali ini aku ingat persis di mana Iris tinggal. Aku terengah-engah dan berkeringat Aku harus terus menyibakkan bulu tebal yang menutupi mataku, supaya aku bisa melihat. Carl mengetuk pintu trailer . Pintu itu membuka Di dalam hanya ada kegelapan. “Iris?” panggilku “Iris? Kau ada di rumah?” “Awwwk” terdengar suara Maggie. Satu-satunya jawaban Aku melongok ke dalam. “Ada orang, tidak?” panggilku lagi. Tak ada jawaban. “Kita masuk saja,” saran Carl. Aku ragu. “Kita tidak bisa masuk kalau Iris tidak ada di rumah,” kataku. Kutarik seekor lalat dari lenganku yang berbulu “Iih, Carl... kurasa aku mulai kena kutu.” “Ayo kita masuk saja,” ajak Carl lagi “Kita gunakan Maggie. Kita bisa membuatmu kembali normal, tanpa bantuan Iris.” “Mungkin...,” kataku pelan. Carl masuk ke trailer yang gelap itu. “Ayo, tidak usah takut.” Tidak usah takut? Lalu kenapa perasaanku sangat tidak enak? 17 "0H!” Aku menubruk sisi pintu trailer. Bulu-buluku südah tebal sekali, hingga aku tampak seperti bola berbulu raksasa. Terlalu besar untuk mendesak masuk ke trailer Iris. Dengan mengerang aku memaksakan maju, dan lagi-lagi tertumbuk kerangka pintu. Seluruh trailer itu berguncang. “Carl, aku terlalu besar. Aku tidak bisa masuk” teriakku. Carl melongok padaku dari ambang pintu yang gelap. “Miring saja,” perintahnya, “Coba berjalan miring” Dengan susah payah aku memiringkan tubuh, lalu memaksakan diri masuk. “CAAAAAW!” Miaggie mengeluarkan teniakan nyaring yang menyeramkan, seolah memperingatkan kami untuk menjauh. Suara itu membuat bulu-buluku berdiri. “Mana lampunya?” tanya Carl. Ia kedengaran tegang dan takut. “Cari lampu atau apalah.” Aku menabrak meja. Sesuatu yang berat jatuh ke lantai dengan suara keras. Carl dan aku menjerit. “Tenang! Tenang!” kata kami berbarengan. “CAAAAW!” Lagi-lagi teriakan nyaring dan Maggie di kegelapan. "Kenapa burung itu kedengarannya seperti manusia?” tanya Carl pelan. “Iris?” panggilku “Iris? Kau ada di kamar?" Tidak ada jawaban. Aku menabrak entah sofa atau kursi. “Aduh” Saat aku menjerit, kegelapan pekat menyelubungiku. Ruangan yang sudah gelap itu semakin gelap. “Carl, aku tidak bisa melihat” seruku. Baru beberapa saat kemudian kusadari bahwa bulu-buluku yang berat menyelubungi mataku. Kusibakkan dengan cakarku yang juga berbulu. “Aku... aku tidak tahan lagi, nih,” kataku terbata-bata. Cahaya kuning menyiram seisi ruangan. Carl sudah menemukan lampu meja rupanya. Maggie melompat-lompat penuh semangat di tempat bertengger dari kayu di kandangnya. “Kita mesti cepat,” kataku pada Carl. Suaraku teredam oleh bulu tebal di wajahku. “Aku berat sekali hampir tak bisa napas.” Carl melintasi ruangan yang penuh sesak itu dan menyambar pegangan kandang Maggie. Burung itu melompat-lompat dan berbunyi terus, seperti memprotes. “Cepat,” kataku “Aku aku kehabisan napas di sini.” Carl menaruh kandang itu di meja, lalu membuka pintunya dan mengeluarkan si burung gagak. Diletakkannya gagak itu di telapak tanganku yang berbulu. “Ucapkan permintaanmu,” kata Carl. “Lalu gosok-gosok burung itu. Kau sudah tahu caranya. Kau pasti bisa melakukannya.” “Mudah-mudahan,” gumamku pelan. Kupejamkan mataku. Dengan jantung berdebar kencang kucoba memikirkan, apa yang akan kuminta. Hilanglah, pikirku. Bulu-bulu, hilanglah. Kugosok-gosokkan tanganku yang berat di punggung Maggie. Sekali, dua kali... tiga kali. Lalu aku membuka mata. Maggie memiringkan kepala dan memandangiku dengan satu mata hitam berbinar-binar. Ia mengamatiku dengan saksama, matanya gemerlapan seperti permata hitam. Kupaksakan diri mengalihkan pandang. “Tidak terjadi apa-apa,” keluhku. "Tunggulah sebentar,” kata Carl. Dibawanya kembali gagak itu ke kandangnya, diletakkan di tempat bertenggernya, lalu ditutupnya kembali pintu kandang. “Aku tidak punya banyak waktu,” kataku berbisik. “Terlalu berat... aku terlalu berat.” Lututku gemetar, kakiku tidak kuat lagi menopang tubuhku. Aku merasa seperti terbenam di bawah gunungan bulu hitam. Terbenam ke lantai. “Kenapa tidak terjadi apa-apa? Kenapa?” ratapku. Carl menelan ludah “Tunggu sebentar, Wade. Baru beberapa detik, kan?” “Ambilkan gagak itu lagi,” perintahku “Akan kucoba lagi. Akan kuucapkan permintaan yang berbeda. Sepuluh permintaan yang berbeda” Carl tidak menjawab. Juga tidak beranjak. “Carl?” seruku. “Ada-apa?" Kusibakkan bulu tebal di depan mataku. Carl sedang menunduk. Apa sih yang dipandanginya? “Carl!” teriakku “Kau sedang apa? Ada apa sih?” “Ini. “ Matanya tampak terbelalak di balik kacamatanya. Bahkan dalam cahaya lampu yang remang-remang itu aku bisa melihat ekspresi ketakutan di wajahnya. “Wade,“ gumamnya sambil menyodorkan kedua tangannya padaku. “Aduh, tidak!” Aku terkesiap. Kupandangi rambut hitam tebal yang tumbuh di punggung tangan Carl. 18 "BULU-BULU ini... tumbuh terus,” kata Carl. Ia menurunkan tangannya dan menatapku dengan marah. “Kenapa, Wade? Kenapa kau melakukan ini padaku?” “Bukan aku!” protesku. “Ada yang tidak beres. Mungkin gara-gara gagak konyol itu. Mungkin..." Aku tak sempat menyelesaikan kalimatku. Teriakan keras dari pintu yang terbuka di belakang kami membuat kami terlompat. Aku berusaha memutar tubuh, tapi terlalu berat. Aku tak bisa bergerak. “Itu Iris,” kata Carl ketakutan. Iris masuk dengan marah ke dalam trailer. Gaun ungunya yang panjang menyapu lantai di belakangnya. “Siapa kalian? Sedang apa kalian di sini?” tuntutnya. “Ini aku,” erangku “Wade” “Kami ditumbuhi bulu,” seru Carl sambil mengangkat kedua tangannya yang berbulu. “Kau mesti menolong kami” Iris ternganga. Ia mencengkeram sejumput bulu di tubuhku dan menariknya. “Aduh” teriakku. “Astaga!” gumam Iris. Ia mundur selangkah, memandangi aku dan Carl bergantian. “Aku tidak bisa bernapas gara-gara bulu ini,” kataku susah payah. “Dan rasanya panas sekali. Tolong dong!” “Ya, tolong,” kata Carl. Di belakang lehernya sudah tumbuh bulu panjang, dan dari bawah hidungnya juga mulai bermunculan bulu-bulu hitam. “Lagi-lagi aku membuat kesalahan,” kata Iris sambil geleng-geleng kepala. “Itulah susahnya kalau baru membuka usaha. Perlu waktu untuk memahirkan diri, biar kutu-kutunya keluar dulu semuanya.” “Jangan sebut-sebut kutu,” gumamku. Aku tahu bulu-buluku penuh dengan kutu. Mendadak lututku tidak tahan lagi. Aku terperenyak ke lantai. “Aku tidak bisa napas... ,“ erangku. “Bulu-bulu ini membuatku sesak napas. Aku tidak bisa melihat.” Kudengar Iris melintasi ruangan, sementara Maggie berkoak nyaring. “Aku akan mencoba mantra lain,” kata Iris. “Yang bisa bekerja cepat.” “Tadi aku sudah mencoba” kataku. Iris terperanjat. “Mestinya kau tidak main-main dengan Maggie, Wade. Kuperingatkan Bisa berbahaya. Tidak semudah kelihatannya. Ada peraturannya...“ “Tolong,” kataku. “Cepat.” Hening sejenak. Kudengar derit pintu kandang yang dibuka, lalu kepak sayap Maggie. Lalu hening lagi. Dan aku mulai gatal. Aduh, tidak, pikirku. Iris membuatku kegatalan lagi, padahal aku penuh bulu begini. Aku bisa mati kegatalan. Tapi... tidak. Bulu-bulu itu tertarik ke atas, terangkat dari mataku. Mendadak aku merasa lebih ringan. Aku duduk tegak. Kedua lenganku gatal. Kakiku juga. Seluruh tubuhku. Sebab bulu-bulu itu terserap masuk KE DALAM kulitku. Aku duduk di lantai dengan sangat bingung. Kurasakan bulu-bulu itu masuk semua ke dalam tubuhku, semakin kecil dan semakin kecil, seolah-olah ada orang yang me-rewind video tentang bulu yang tumbuh. Tak lama kemudian Carl dan aku saling pandang. Kami sudah kembali normal. Kugosok-gosok lenganku. Mulus. Kugosok-gosok belakang leherku. Bebas dari bulu. Aku merasa sangat ringan. Seringan kapas. Carl menarikku berdiri. Kami bersorak gembira. Masih sambil memegang Maggie di tangannya, Iris rnenggelengkan kepala dengan prihatin “Maaf,” gumamnya. “Aku menyesal sekali.” “Apa ini berarti Micah tidak jadi botak malam ini?” tanyaku. “Aku gagal,” desah Iris. “Aku berutang satu percobaan lagi padamu.” Aku ragu-ragu. Sejauh ini pembalasan dendamku selalu gagal. Apa sebaiknya kubatalkan saja gagasan ini? “Kurasa aku tahu masalahnya,” kata Iris dengan serius. Ditaruhnya Maggie di bahunya. “Kurasa kau mesti pulang. Kalau kau tidak ada di sini, mantra itu akan bekerja pada kakakmu... bukan padamu” “Baiklah,” aku setuju. “Kurasa kita mesti mencoba satu kali lagi.” Sayang sekali kalau aku sudah begitu menderita, tapi belum juga berhasil membalas dendam pada Micah. “Tapi, apa yang akan kaulakukan padanya?” tanyaku. Seulas senyum misterius terkembang di bibir Iris yang hitam “Aku akan membuat segala kesulitanmu lenyap,” katanya. “Apa?” seruku “Apa maksudmu?” “Jangan dipikirkan,” sahut Iris, masih tersenyum. Pulang saja dan tenanglah. Kali ini kau akan senang, Wade. Aku janji.” Tak lama kemudian, Carl dan aku memulai perjalanan panjang kami untuk pulang. Aku senang sekali sudah kembali normal, tidak diberati oleh sekian kilo bulu. Tapi aku masih tetap cemas. Lenyap? pikirku. Apa maksud Iris mengatakan akan melenyapkan semua kesulitanku? 19 "JANGAN cemas, Wade” Mom mengecup dahiku. "Micah akan mengurusmu. Iya, kan, Micah?” “Ya,” sahut. Micah Ia mengacak-acak rambutku, pura-pura sayang padaku. Saat itu satu hari sesudah bulu-buluku hilang. Mom dan Dad masuk ke dapur dengan membawa koper, dan mengatakan mereka akan pergi semalaman. “Menginap romantis di tepi pantai,” kata Dad. “Hanya ibumu dan aku” “Manis sekali, bukan?" kata Mom senang. Ya, manis sekali, pikirku sebal. Aku tidak keberatan mereka pergi semalaman, tapi aku tidak suka ditinggalkan bersama Micah. Berada di bawah belas kasihannya. Tanpa ada yang bisa mencegah kalau ia mulai menyiksaku. “Senang-senanglah.” Micah tersenyum. Aku yakin ia sudah tak sabar ingin memonopoli rumah. “Akan kupastikan Wade tidak membakar habis rumah ini.” Mom mengecup pipinya. Perutku mual melihatnya “Kami sudah membuat daftar tugas untuk kalian.” Dad menunjuk sepotong kertas di atas meja. “Masing-masing melakukan setengahnya. Jangan sampai tidak. Akan kuperiksa kalau aku pulang nanti.” Aku melihat daftar itu. Panjang sekali. “Tidak boleh ada pesta,” kata Mom sambil mengangkat kopernya. “Micah, kau boleh pakai mobilku kalau perlu. Tapi jangan pulang terlalu malam. Dan jangan lupakan adikmu.” “Kalau aku punya mobil sendiri,“ kata Micah. “Jangan dimulai, Micah,” Dad mengingatkan “Sampai besok. Kami akan pulang pagi-pagi sekali.” Kupandangi mereka pergi. Kenapa mereka melakukan ini padalu? Kenapa mereka meninggalkan. aku di sini bersama Micah si J-A-H-A-T?” Ah, tapi mungkin lebih baik kalau mereka pergi, pikirku, sehingga mereka tidak melihat pembalasanku terhadap Micah... apa pun bentuknya. Aku bertanya-tanya, mantra apa yang dilemparkan Iris padanya? Kapan mantra itu mulai bekerja? Sejauh ini Micah tampak normal-normal saja, seperti biasa. Tahu-tahu ia mencekal leherku. “Sudah siap bersenang-senang, Wade?” Dieratkannya cengkeramannya, hingga aku nyaris tersedak. “L-lepaskan,” kataku. Ia menggelitik bawah lenganku. Aku benci digelitik. “Hentikan” teriakku. Aku meliuk menjauh. Micah mengambil daftar tugas itu dan mengacungkannya di depanku. “Sebaiknya kau mulal mengerjakan tugas-tugasmu. Jangan lupa, Dad akan memeriksa hasilnya besok.” “Tugas-tugasku?” seruku “Kenapa semua mesti aku yang mengerjakan?” “Aku terlalu sibuk,” sahut Micah. “Aku tidak mau,” kataku sambil mendorong daftar itu kepadanya “Kau tidak bisa memaksaku.” “Bisa saja,” katanya jahat. “Bagaimana caranya?” tanyaku nyaring. “Dengan foto kecil ini.” Micah melambaikan. Sebuah foto Polaroid di depan wajahku. “Sini kulihat” kataku “Foto apa itu?” Ia memegang foto itu tinggi-tinggi di atas kepalaku. “Apa kau tidak mendengar aku menyelinap masuk ke kamarmu tadi pagi?” Micah tersenyum lebar,hingga aku ingin menonjoknya. “Hah? Apa?” teriakku. “Kau sedang tidur nyenyak,” kata Micah “Sambil mendengkur. Cuma pakai celana dalam. Sambil ngiler. Lalu kau kufoto.” Aku gemetar karena marah. Tak kukira ada orang sejahat dia. “Yang benar saja!” teriakku. “Sungguh!” Micah memperlihatkan foto itu sejenak. Sekali lihat sudah cukup untuk membuatku terpana. Benar, itu fotoku, sedang tidur dengan mulut terbuka dan meneteskan air liur di dagu. Dan aku cuma pakai celana dalam. “Berikan padaku!” teriakku sambil mencoba menyambar foto itu. Sambil tertawa, Micah menjauhkannya dari jangkauanku. “Sebaiknya kau mulai bekerja. Kalau tugas-tugas itu tidak selesai nanti malam, Steve Wilson akan mendapat kiriman foto yang indah ini besok.” “Dasar monster” teriakku “Aku benci padamu! Benci! Semoga kau lenyap dan tidak pernah kembali lagi.” Malam itu permintaanku terkabul. 20 SESUDAH makan malam, Micah melompat bangkit. “Cuci piring,” perintahnya “Aku mau pergi.” “Pergi?” seruku “Ke mana?" Ia memasang tampang mengejek padaku. “Memangnya itu urusanmu? Tidak usyah ya.” Disambarnya kunci mobil Mom, lalu ia beranjak ke pintu “Tidak usah menungguku.” Tak lama kemudian kudengar mobilnya melaju pergi. Carl datang setelah aku selesai memasukkan piring-piring kotor ke mesin cuci piring. “Bagaimana Micah?” tanyanya “Apa dia punya lengan tambahan? Atau bulu hidungnya tumbuh sampai ke dagu?” “Tidak terjadi apa-apa padanya,” sahutku. “Dia kesandung tadi siang. Cuma itu.” Carl mencoba menghiburku. “Mungkin mantranya belum bekerja. Aku yakin dia akan tertimpa sesuatu yang hebat malam ini.” “Mudah-mudahan,” desahku “Kuharap demikian.” *** Setelah Carl pulang, kucoba menunggu Micah. Tapi pukul sebelas malam aku sudah sangat mengantuk. Aku mengganti-ganti saluran TV dan memaksakan mataku untuk tetap terbuka. Tapi pada tengah malam aku menyerah dan pergi tidur. Kumatikan semua lampu. Biar saja. Mudah-mudahan Micah jatuh atau terbentur dalam gelap. Aku tidur dengan gelisah, setengah terjaga untuk mendengarkan Micah pulang. Suatu saat, aku bermimpi aneh. Dalam mimpiku aku melihat Maggie. Sebersit cahaya merah darah bersinar di bulu-bulunya yang hitam. Ia mengepak-ngepakkan sayapnya. Sekali, dua kali, tiga kali dan berubah menjadi seorang gadis. Aku tidak mengenalinya. Aku belum pernah melihatnya. Gadis itu berputar tiga kali... dan berubah menjadi Iris! Dalam mimpiku aku memanggil-manggil Iris. Iris! Tolong aku! Iris mengulurkan tangan... lalu berhenti. Ia menggosok-gosok rambut hitamnya yang panjang mengilap tiga kali... dan berubah menjadi si burung gagak! Burung itu membuka paruhnya lebar-lebar dan mengeluarkan tiga jeritan memekakkan telinga. “YAAAIII!” Aku terbangun sambil menjerit. Aku duduk tegak dan mereguk udara banyak-banyak. Wah! “Mimpi yang aneh sekali,” gumamku. Cahaya matahari pagi memancar masuk dan jendela kamarku. Aku pasti kesiangan. Apa Micah masih tidur? Aku turun dari ranjang, cepat-cepat berpakaian, dan berjalan ke kamar Micah. Pintunya tertutup. Aku mengetuk. Tidak ada jawaban. Aku mengetuk lebih keras. Tetap tidak ada jawaban. Kubuka pintu itu. Kamarnya gelap. Aku menyalakan lampu. Ranjangnya kosong. Masih rapi. Ia tidak tidur di situ semalam. Tidak pulang. Apa ia begadang dengan salah satu temannya? Apa ia pergi semalaman tanpa menelepon? Ia tidak akan berani berbuat begitu kalau Mom dan Dad ada di rumah. Kuambil buku alamat Micah, lalu aku turun dan menelepon semua temannya. Tidak ada yang melihatnya semalam. Akhirnya aku menelepon teman baik Micah, Ryan. “Ini Wade. Apa Micah menginap denganmu semalam?” tanyaku. “Tidak,” sahut Ryan. “Mestinya kami bertemu di rumahku. Tapi Micah tidak muncul.” Tidak muncul? Rasa takut mencekam hatiku. Sekonyong-konyong aku tahu apa yang terjadi. Iris. Iris telah melenyapkan semua kesulitanku. Iris membuat kakakku lenyap. Aku berdiri di tengah dapur dengan gemetar, masih memegang telepon. Micah sudah lenyap. Selamanya. Dan semua itu kesalahanku. Aku merasa mual. Lalu kudengar suara dari arah jalan masuk. Suara mobil. Aku bergegas ke jendela. Mom dan Dad sudah pulang. Apa yang akan kukatakan pada mereka? Apa? 21 MOM dan Dad menaruh koper mereka di pintu belakang dan mengecupku. “Mana Micah?” tanya Dad. “Dia... eh... dia.” Aku mesti bilang apa? Mengatakan yang sebenarnya? Tidak, aku tak bisa. “Kurasa dia pergi kerja lebih awal,” dustaku. Aku mesti mencuri waktu. Mungkin aku bisa mencari cara untuk mengembalikan Micah sebelum orangtuaku tahu. Dad melipat kedua lengannya. “Ini hari Sabtu, Wade,” katanya tegas “Micah tidak kerja pada hari Sabtu.” “Oh, wow.” Jantungku berdebar kencang sekali, hingga aku tak bisa berpikir jernih. “Uh dia pergi pagi-pagi, mungkin ingin membuat kejutan untuk Mom dan Dad.” Mom melotot padaku. “Jangan coba-coba melindungi dia, Wade. Dia tidak pulang semalam, bukan?” Aku menunduk menatap lantai. “Yah...” Dad tertawa. “Tidak pulang semalaman? Wah wah wah! Dia mirip aku dulu, ya?” Mom mendorongnya dengan bercanda. “Tidak lucu. Micah mestinya tetap di rumah, menjaga Wade.” “Aku... tidak apa-apa,” kataku. Berbohong lagi. “Tunggu sampai anak itu pulang,” kata Mom dengan tegas. “Akan kuberi dia teguran keras.” Yeah, pikirku. Tunggu saja sampai dia pulang.... Mungkin akan sangat lama Sangat lama. Aku hendak beranjak ke pintu. “Wade, kau mau ke mana?” panggil Mom. “Eh... aku mesti menemui seseorang,” sahutku. *** “Kau mesti mengembalikan Micah... sekarang juga!” kataku pada Iris. Aku mondar-mandir di trailer kecil itu dengan jantung berdebar-debar, sambil bertolak pinggang. Iris menyibakkan rambut panjangnya. “Mengembalikan dia? Kenapa?” “Sebab... sebab...,” aku terbata-bata marah. “Kupikir kau akan senang,” katanya. “Senang?” teriakku. “Bagaimana dengan orangtuaku? Teman-teman Micah? Seluruh keluarga kami? Semua orang akan sangat sedih. Keluarga kami akan hancur. Tidak akan ada lagi yang sama seperti semula.” Iris memandangiku, lalu menggeleng. “Maaf, kau datang minta aku melakukan pembalasan, dan aku sudah memberikan pembalasan yang sempurna.” “Sempurna apa?” ratapku. “Mengerikan! Apa kau tidak sadar akan apa yang kaulakukan? Kakakku lenyap selamanya, dan semua itu gara-gara aku. Aku tidak akan pernah bisa melupakan itu. Sepanjang sisa hidupku...’ “Lalu aku mesti bagaimana?” tanya Iris. “Mengembalikannya?” “Ya, tentu saja!” teriakku “Kembalikan dia!” Iris menyilangkan lengan di depan gaun ungunya “Maaf, aku tidak bisa.” “Tidak bisa?” teriakku lemah. “Terlalu sulit,” Iris menjelaskan. “Mantra itu sangat rumit. Perlu waktu berjam-jam. Aku tidak yakin bisa membatalkannya.” “Tapi kau mesti mencoba,” pintaku. “Maaf sekali,” kata Iris “Aku tidak bisa. Kau mesti pergi. Aku banyak urusan.” “Aku tidak mau pergi,” sergahku. Aku duduk di kursi ungu besar di dekat tembok. “Aku tidak akan pergi sebelum kau mengembalikan Micah” “Itu tidak mungkin,” kata Iris dengan tegas. “Tidak bisa gratis. Aku sudah berbuat sebisanya untukmu, Wade Dengan gratis.” Kupandangi ia lekat-lekat “Maksudmu..." Mata Iris berkilat-kilat. “Aku bisa mengembalikan kakakmu dengan selamat, tapi... ada harganya.” Aku menelan ludah. Aku sudah tahu akan seperti ini. Iris sudah memperingatkan bahwa cepat atau lambat aku mesti membayar untuk mantra-mantranya. “Apa kau benar-benar ingin kakakmu kembali?” tanya Iris sambil mendekatkan tubuh, matanya mendadak berbinar-binar senang. “Apa kau siap membayar harganya?” Aku tak punya pilihan. “Baiklah” desahku. “Apa yang mesti kulakukan, Iris?” 22 "AKU tidak akan membohongimu Apa yang kuminta kaulakukan ini sangat berbahaya,” kata Iris “Kau bisa berakhir seperti... kakakmu.” Aku terkesiap. “Maksudmu aku bisa lenyap juga?” Ia mengangguk. Di belakangnya, Maggie melompat-lompat di tempat bertenggernya. Tapi kemudian burung itu mendengarkan dalam diam. “Kau pulang saja,” kata Iris dengan lembut “Kau tak perlu membahayakan hidupmu.” “Tidak,” sahutku, sambil berusaha menghentikan gemetar kakiku. Kusilangkan kedua kaki rapat-rapat, lalu kucengkeram pegangan kursi erat-erat. “Aku mesti mendapatkan Micah kembali. Katakan, apa yang mesti kulakukan.” Iris mendesah. “Kau sendiri yang meminta ini. Ingat-ingat itu.” Ia berdeham. “Aku punya saudara kembar,” katanya. “Namanya Paula. Dia tinggal di sebuah rumah kosong di bagian lain kota. Di daerah yang bagus, di ujung Andover Street. Mungkin kau tahu rumah itu?” Hah? Aku tahu rumah yang dimaksud Iris. Rumah itu terletak di dekat rumahku. Aku melewatinya setiap hari, dalam perjalanan ke sekolah. Rumah itu gelap dan sangat menakutkan. Carl menyebutnya Rumah Mati. Bukan karena rumah itu penuh dengan hantu - meski kelihatannya memang begitu - tapi karena rumah itu sendiri tampak mati... kelabu, rusak, dan membusuk seperti mayat. “Saudaramu tinggal di rumah itu?” tanyaku “Kupikir tidak ada orang tinggal di situ.” “Dia tinggal di situ,” kata Iris. “Aku sudah bertahun-tahun tidak bicara dengannya, sebab dia jahat. Tapi aku selalu mengikuti jejaknya. Aku tahu dia tinggal di rumah itu.” “Saudaramu itu jahat?" kataku. Iris mengangguk serius “Dia juga punya kekuatan sihir seperti aku, tapi dia tidak menggunakannya untuk tujuan yang baik. Dia memakai kekuatannya untuk mencelakakan orang, mengubah orang menjadi benda mati, binatang, monster... sekadar untuk senang-senang saja.” Aku merinding ngeri. “Kenapa kau menceritakan tentang dia padaku?” tanyaku. Iris tidak mengacuhkan pertanyaanku. Ia memejamkan mata dan melanjutkàn ceritanya. “Dulu aku punya dua burung gagak. Maggie dan Minnie. Minnie-lah yang bertuah, yang punya kekuatan. Itu sebabnya saudaraku mencurinya.” Di kandangnya, Maggie berkaok-kaok dengan suara keras, seolah-olah mengerti cerita Iris. Iris mendekatkan tubuh padaku. “Kalau kau ingin kakakmu kembali, Wade, kau mesti melakukan tugas berbahaya untukku. Kau mesti menyelinap masuk ke rumah saudaraku. Gunakan akal dan semua kecerdikanmu. sebelum Paula menggunakan kekuatan jahatnya padamu. Ambilkan Minnie untukku.” “Tapi... kalau aku tidak bisa?” tanyaku dengan suara gemetar ketakutan. Iris menjawab dengan berbisik, “Tanpa Minnie, aku tak bisa mengembalikan kakakmu” “Tapi, kapan?“ Aku tak bisa melanjutkan. Iris menarikku dari kursi dan mendorongku ke pintu. “Pergilah sekarang juga,” katanya. “Pergi sekarang, Wade. Saudaraku biasanya tidur sepanjang siang, supaya bisa menggunakan kekuatan jahatnya sepanjang malam.” Aku melangkah keluar “Tapi, Iris,” kataku, “kalau aku tertangkap.” “Semoga berhasil.” Iris menutup pintu trailer-nya. 23 AKU berhenti di rumah Carl. Aku hendak memintanya ikut denganku ke rumah seram itu. Tapi Carl tidak ada di rumah. Ibunya mengingatkanku bahwa setiap Sabtu pagi Carl punya kegiatan dengan Little League. Jadi, aku mesti pergi sendirian. Saat berjalan menyusuri dua blok, jantungku berdebar kencang dan kakiku gemetar, seolah terbuat dari karet. “Kau tidak bisa mundur,” kataku pada diriku sendiri. “Kau mesti melakukannya. Mesti.” Kupaksakan diriku melangkah ke tanaman pagar yang tinggi di depan rumah tua itu. Pagi itu cerah, tapi pepohonan tinggi dan tua yang menjulang di sekeliling rumah itu menimbulkan bayang-bayang gelap. Sebatang pohon raksasa melintang di tengah pekarangan, cabang-cabangnya sudah membusuk dan kulit pohonnya terkelupas, seperti sosok mayat yang mulai mengurai. Sebuah kerai yang robek memukul-mukul salah satu sisi samping rumah. Di sepanjang tembok depan, semua jendelanya sudah pecah. Atap rumah melesak di tengah-tengah. Setumpuk koran tua tertumpuk di beranda. Tidak ada tanda-tanda kehidupan. Aku menarik napas dalam-dalam. Lalu aku berjalan melintasi pekarangan yang penuh rumput tinggi, bersembunyi dalam bayang-bayang yang panjang, menuju beranda depan. Sekumpulan semut hitam merayap di lantai beton yang retak-retak. Aku melangkah dengan hati-hati, memutari tumpukan koran tua itu, terus menuju pintu. Bagaimana caranya masuk ke dalam? Tak mungkin aku membunyikan bel. Kepalaku serasa berputar. Mendadak aku merasa pening karena ketakutan. Kusandarkan kedua tanganku di pintu, supaya tidak terjatuh. Tapi pintu itu berderit membuka. Di dalam gelap. Pepohonan tinggi di situ membuat sinar matahari tak bisa menembus masuk. Aku melongok ke lorong depan. Tak ada siapa-siapa. Bau asam debu dan jamur menyambutku. Sangat memuakkan... begitu pekat, hingga aku tersedak. Sambil menahan napas, aku melangkah masuk. Sesuatu yang lengket menutupi wajahku. “Ohhh” aku terkesiap. Sarang labah-labahkah ini? Ya, benar. Kutarik sarang itu dari wajahku, dengan dua tangan. Aku melayangkan pandang. Di semua tembok menempel sarang labah-labah. Aku maju selangkah. Lalu selangkah lagi. Lantai papan berderit di bawah injakan sepatuku. Aku tidak sanggup melakukan ini. Aku terlalu ketakutan, hampir-hampir tak bisa bergerak. Tak mungkin aku bisa mencuri burung gagak itu dan keluar dari sini tanpa tertangkap. “Paula suka mengubah orang menjadi binatang,” begitulah kata Iris. “Atau monster.” Di mana Paula? pikirku. Kupeluk tubuhku supaya tidak gemetar. Aku menarik napas panjang. Sekali lagi tarik napas. Lalu aku melangkah ke lorong yang panjang dan gelap itu. Sarang labah-labah menyapu wajah dan lenganku. Tidak kuacuhkan. Aku terus menatap ke depan, membiarkan mataku menyesuaikan diri dalam kegelapan. Di kedua sisi lorong ada pintu-pintu, semuanya gelap. Di ujung sana ada sebersit cahaya pucat yang memancar dari sebuah pintu yang terbuka. Masih sambil memeluk diriku sendiri, kupaksakan kakiku yang berat untuk melangkah. Aku maju perlahan-lahan, selangkah demi selangkah. Setengah jalan, aku berhenti. Dan mendengarkan. Di mana kau, Minnie? tanyaku pelan. Kepakkan sayapmu. Berkaoklah untukku. Tolong, beri aku petunjuk. Hening. Yang terdengar hanya suara napasku yang pendek-pendek. Dengan mendesah aku maju lagi. Aku melangkah ke pancaran cahaya di lantai itu. Dan berhenti lagi. Aku melongok ke balik pintu yang terbuka. Sarang labah-labah yang keperakan menggantung di pintu. Aku membungkuk untuk melihat ke balik sarang tebal itu, tapi tak banyak yang bisa kulihat. Hanya tampak tirai-tirai gelap yang menutupi jendela berdebu. Kertas dinding kelabu yang sudah mengelupas. Kau ada di dalam sana, Minnie? Berkaoklah! Berbunyilah! Tak ada suara. Aku menarik napas panjang lagi. Dan siap-siap melangkah masuk. Kubungkukkan tubuhku di bawah sarang labah-labah itu. Dan aku pun masuk ke dalam. Lalu terperanjat. 24 MATAKU menyapu ke arah perabotan yang sudah rusak, karpet bernoda yang tebal oleh debu, serta bola lampu yang bergantung di seutas kabel panjang dan langit-langit yang retak. Lalu aku menatap kandang burung di atas perapian, di tembok sebelah sana. Minnie! Burung itu berayun-ayun di dalam kandang kecilnya, memiringkan kepala ketika aku masuk, dan terus berayun. Ya, aku langsung gembira melihat burung itu. Harapanku muncul kembali. Begitu dekat. Burung itu begitu dekat. Aku bisa menyambarnya dan langsung lari. Sebuah suara batuk yang keras membuatku menjerit. Kututupi mulutku dengan dua tangan lalu aku menoleh ke arah suara itu. Ada sebuah kursi hitam di depan perapian. Kursi kulit yang isinya sudah menguning dan mencuat keluar. Dan di kursi itu... seseorang sedang tidur. Tidurkah dia? Aku tidak yakin. Rambut hitamnya yang panjang menutupi wajahnya. Paula. Ia mengenakan gaun ungu juga, seperti Iris. Satu lengannya bergantung di sisi kursi, kepalanya jatuh ke muka, mengangguk-angguk teratur. Ia mendengkur. Ia memang tidur. Aku memicingkan mata, berusaha melihat wajahnya, tapi helai-helai rambut panjang yang hitam itu menutupinya seperti tirai tebal. Sejenak aku berdiri diam, memandangi kepalanya yang terangguk-angguk pelan dan mendengarkan suara dengkurannya yang halus. Oke, Wade, dia tidur. Tentu tidak akan terlalu sulit untuk melintasi ruangan, menyambar kandang burung itu, dan keluar dari rumah ini secepat mungkin. Ya, kedengarannya mudah. Tapi, saat aku berjalan ke arah perapian, kandang burung itu mendadak terasa sangat jauh. Aku maju selangkah. Lalu selangkah lagi. Lantai papan di bawah kakiku berderit ribut. Di kursinya, Paula bergerak. Mengerang. Lututku mulai lemas. Aku hampir jatuh ke lantai. Tenang perintahku pada diri sendiri. Kuamati kepala Paula yang terangguk-angguk. Ia sudah nyenyak lagi. Aku akan meluncur di lantai, pikirku. Mungkin dengan begitu lantainya tidak akan berderit. Aku beringsut-ingsut pelan melintasi ruangan. Ketika sampai di depan kandang, aku gemetar hebat, hingga mesti berpegangan pada tembok perapian. Mendadak tembok itu seperti akan runtuh! Tidak. Kutahan tembok itu dan kutekan dengan bahuku. Tembok itu tetap di tempatnya. Si burung gagak memiringkan kepala, memandangiku dengan mata hitamnya yang berkilat-kilat, lalu ia mengepakkan sayapnya. “Sssh,” bisikku. Kuangkat kandang itu dari perapian. Lebih berat dari yang kukira. Kupegang dengan dua tangan. Aku membalikkan badan tanpa suara, dan mulai beringsut-ingsut menjauh. Hampir sampai, pikirku, mataku terarah ke ambang pintu. Hampir berhasil keluar dari sini. Ketika baru setengah jalan, terdengar suara gemeresik di belakangku. Suara batuk. Aku menoleh dan melihat Paula melompat bangkit dari kursinya. Ia lari ke depanku untuk menghalangi jalanku. “Kau mau ke mana?” serunya. 25 AKU menjerit. Kandang itu terlepas dari tanganku, jatuh ke lantai, melambung dua kali. Si burung gagak berkaok-kaok dan mengepakkan sayap dengan panik. Lalu kandang itu tergeletak miring. “Siapa kau?” teriak Paula dengan nyaring. “Aku... aku... aku... “Aku tak sanggup berbicara. Paula melangkah mendekatiku, lalu mengangkat kedua tangannya ke rambut hitam panjang yang menutupi wajahnya. Dengan satu gerakan cepat disibakkannya rambut itu, seperti menyibakkan tirai-tirai yang berat. Aku ternganga menatapnya. Ternganga kaget dan tak percaya... dan menjerit lagi “Micah” teriakku “Micah! Ternyata kau! Kau... kau... “ Rasa ngeriku dengan cepat berubah menjadi amarah. Lelucon konyol apa pula ini? Micah tertawa terbahak-bahak, sampai terbungkuk-bungkuk dan menepuk-nepuk lutuinya di bawah gaun ungunya. Lalu Ia menyentakkan rambut hitam itu dan kepalanya... dan melemparkannya padaku. Rambut palsu itu terlontar dari dadaku dan mendarat di samping kandang burung. Si burung gagak berkaok keras. “Apa... kau sedang apa di sini?” Akhirnya aku bertanya dengan suara nyaring bernada tinggi. “Menunggumu,” sahut Micah sambil nyengir penuh kemenangan. “Aku... aku kemari untuk menyelamatkanmu!” seruku. “Aku tahu,” katanya, masih tetap nyengir. “Itulah yang paling asyik.” Aku terisak. “Maksudmu...? Maksudmu...?” Kutatap wajahnya yang tersenyum lebar. Ingin aku menonjoknya, terus dan terus, sampai cengiran itu lenyap dari wajahnya. Kenapa ia ada di sini? Siapa yang memberikan gagak, rambut palsu, dan gaun ungu itu padanya? “Apa Iris... “ Tapi aku terlalu marah dan tak bisa melanjutkan. “Iris yang mengatur semuanya,” Micah menjelaskan, cengirannya mulai memudar. Ia menarik-narik bagian depan gaunnya. “Dia yang memberikan semua perlengkapan ini padaku.” “Dan dia juga menyuruhku kemari supaya kau bisa menakut-nakutiku?” tanyaku. Micah mengangguk “Ya. Semua ini pembalasan dendamku.” Aku ternganga, seluruh tubuhku gemetar. “Apa?” “Belum mengerti juga, Wade?” katanya. “Semua ini pembalasan dendamku.” Aku cuma melongo menatapnya. Tak bisa berpikir. Tak bisa bicara. Pembalasan dendamnya? Bagaimana bisa? “Aku melihat iklan itu di meja riasmu,” Micah menjelaskan. “Untunglah aku kebetulan sedang mengacak-acak kamarmu. Aku melihat iklan itu, dan aku tahu kau pasti akan menggunakannya terhadapku. Jadi, aku mendahuluimu menemui Iris.” “Kau... kau...” Kuacungkan tinjuku padanya. Tak mungkin ini sungguhan. Tak mungkin! “Ingat peristiwa gatal-gatal itu, Wade?” kata Micah. “Ingat rambut yang terus tumbuh itu?” “Mana mungkin aku lupa?” erangku. “Nah, itu bukan karena Iris salah mengucapkan mantra,” kata Micah dengan senang “Dia memang sengaja melontarkan mantra-mantra itu padamu.” “Oh, tidaak” ratapku. Micah tertawa “Kau mengira sedang melakukan pembalasan dendam padaku, tapi sebenarnya akulah yang membalas dendam padamu.” “Dan Minnie?” tanyaku lemah, menunjuk gagak itu. “Paula dan Minnie?” “Cuma cerita bohong,” ejek Micah “Paula tidak pernah ada. Dan burung itu hanya burung biasa dari toko binatang. Tidak bertuah sedikit pun. Tapi bisa mengecohmu, kan?” “Ya,” kuakui dengan sedih. Mendadak aku merasa begitu lemah. Lemah dan lelah. Dan kalah. “Kenapa?” tanyaku dengan suara gémetar. “Kenapa Iris melakukan ini padaku?” Lagi-lagi Micah memasang tampang mengejek. “Karena aku membayarnya. Tiga ratus dolar.Setengah dari seluruh penghasilanku musim panas ini.” Aku mendesah panjang dan lemah. “Kau menang,” gumamku sedih. “Kau menang, Micah.” “Tentu saja,” serunya. Ia memiringkan kepala dan menyerukan teriakan kemenangan yang panjang. “Aku memang hebat. Iya, kan? Aku senang sekali. Ingin rasanya aku jungkir balik!” serunya Tapi ia tidak jungkir balik. Ia malah menghantam punggungku dengan keras, lalu lari keluar. Kudengar ia tertawa dan bersorak-sorak sepanjang jalan di lorong, dan terus hingga ke luar. Dia memang pantas segembira itu, pikirku. Aku kalah. Kalah total. Kuambil kandang itu dari lantai. Si burung gagak berkaok-kaok dan mengepakkan sayapnya. “Kalah,” gumamku. Benarkah aku sudah kalah? Mendadak aku punya gagasan. Satu gagasan terakhir. Yang sangat bagus. 26 "MICAH? Kau ada di bawah? Bisa kemari Sebentar, tidak?” Waktu itu dua hari setelah peristiwa di rumah tua tersebut. Mom dan Dad sedang pegi, dan sekali lagi Micah yang berkuasa di rumah. Aku berlutut di puncak tangga, memegang burung gagak itu di tanganku. Dan aku berseru memanggil kakakku. “Micah? Bisa kemari, tidak?” Kudengar ia berjalan di bawah sana. Kubelai gagak itu, dan menunggu. Tak lama kemudian, Micah muncul di bawah tangga, menatapku dengan marah. “Mau apa, Wade? Aku lagi sibuk.” “Aku cuma ingin menunjukkan sesuatu,” kataku. “Menunjukkan apa? Bahwa kau sudah bisa melambai?” Ia tertawa dengan lelucon konyolnya sendini. Tapi ekspresi wajahnya berubah ketika ia melihat burung gagak di tanganku. Ia merengut. “Mau apa. kau dengan burung konyol itu? Apa Mom dan Dad tahu kau membawa burung itu ke rumah?” “Tidak, tapi..." “Mereka tidak akan mengizinkanmu memeliharanya,” katanya jahat “Akan kuadukan pada mereka, bahwa kau menyembunyikan burung itu di atas.” “Aku cuma ingin menunjukkan sesuatu,” kataku “Ingat dua hari yang lalu? Di rumah tua itu?” Ia tertawa “Tentu saja ingat. Hari paling hebat dalam hidupku.” “Nah, ingat tidak kaubilang ingin jungkir balik?” Ia mengangguk “Yeah. Lalu kenapa?” Aku memejamkan mata dan menggosok punggung burung di tanganku tiga kali. “Ayo, Micah,” kataku “Jungkir baliklah.” Micah tertawa lagi dan menggeleng-geleng dengan tampang mengejek “Apa-apaan ini, Wade? Mau main-main? Burung konyol itu tidak akan bisa menolongmu..." “AWWWK” Ia menjerit tertahan dengan mata melotot. Kedua lengannya terulur. Ia jungkir balik ke belakang dengan canggung. Kedua kakinya goyah ketika mendarat, tapi ia bisa mempertahankan keseimbangannya. “Hah?” Micah ternganga kaget. Ia menggeleng keras-keras. “Lagi,” kataku “Terus jungkir balik sepanjang hari.” “Tidak Tunggu” protesnya. Tangannya terangkat dan punggungnya melengkung lagi. WH000P! Micah berjungkir balik lagi. Sekali lagi ia mendarat dengan gemetar. Wajahnya sangat shock. Seluruh kepalanya merah padam. “Tunggu... ,“ katanya. Tapi ia berjungkir balik lagi. Dan lagi. Sekarang aku tertawa. Akhirnya giliranku untuk tertawa “Tahu, tidak, Micah?” seruku. Kutunggu ia selesai berjungkir balik, lalu kupaparkan yang berikut ini. “Kemarin diam-diam aku mendatangi tempat Iris lagi. Ketika dia pergi, aku masuk dan menukar burung gagaknya. Aku punya gagak yang asli sekarang. Maggie.” “Kumohon ,“ pinta Micah. Ia jungkir balik lagi. Dan lagi. Lalu bel pintu berbunyi. 27 AKU bergegas turun untuk membuka pintu. “Biarkan aku berhenti” pinta Micah. “Kau sudah membalaskan dendammu Kumohon, Wade." Ia berjungkir balik di depan pintu, menghalangi jalanku. Bel pintu berbunyi lagi. Kudorong Micah ke ruang tamu dan kubuka pintu. “Hai, Carl.” kataku “Masuklah.” “Apa kabar?” tanya Carl. Ia masuk ke dalam, dan ternganga melihat Micah jungkir balik. Micah mendarat sambil mengeluh keras. “Tolong, Wade,” katanya. Ia berjungkir balik lagi. “Kenapa dia begitu?” tanya Carl sambil membetulkan kacamatanya. Mungkin ia mengira salah lihat. Kutunjukkan burung gagak itu. “Ini Maggie,” kataku. “Akhirnya aku bisa balas dendam sedikit.” “Hebat,” kata Carl. Micah berjungkir balik lagi, menabrak meja kopi dan menjatuhkan vas porselen di atasnya. “Hati-hati!” bentakku “Jangan teledor.” Carl dan aku tertawa. Memang jahat, tapi ini lucu sekali. Dan tidak sejahat apa-apa yang telah dilakukan Micah padaku. “Bagaimana káu bisa mendapatkan burung itu?” tanya Carl “Aku mencurinya,” sahutku. “Sebenarnya, aku menukarnya dengan burung lain.” Senyum Carl memudar “Apa Iris tidak mengejarmu?” “Tidak akan bisa,” kataku “Dia tidak tahu aku tinggal di mana. Aku tidak pernah menyebutkan alamatku.” Kami memandangi Micah berjungkir balik beberapa kali lagi. Wajahnya sudah merah padam dan basah oleh keringat. Napasnya terengah-engah, dan ia mengerang setiap berjungkir balik. “Lama-lama membosankan juga,” desahku. "Ayo kita coba yang lain.” “Yeah, boleh juga,” kata Carl “Apa ya?” Kuangkat Maggie di depanku. “Hmmm.” Aku berpikir keras. Mataku melayang ke luar jendela, ke kebun Mom. “Bisa, tidak, ya, aku mengubah Micah menjadi makhluk lain?” kataku. “Maksudmu menjadi binatang atau semacamnya?” tanya Carl. Micah mengerang dan berjungkir balik lagi. “Bagaimana kalau dia dijadikan serangga?” kataku dengan senyum lebar. "Atau cacing kebun. Kau tahu, kan? Cacing gendut berlendir di kebun Mom itu?” “Ya, coba saja,” Carl mendukung. “Tidak!” sergah Micah dengan terengah-engah. “Wade.. jangan.” Aku memejamkan mata dan menggosok punggung Maggie sekali, dua kali, tiga kali. Ketika aku membuka mata, Micah sudah lenyap. Aku mengerjap-ngerjap. “Oh wow!” seruku. “Dia sudah tidak ada.” “Tidak! Lihat!" Carl lari ke ruang tamu dan menunjuk penuh semangat ke karpet. “Kau berhasil, Wade! Lihat!” Aku melihat sebuah titik cerah di karpet. Tidak, bukan titik. Tapi cacing. Micah, alias si C-A-C-I-N-G, merayap pelan, meninggalkan jejak lendir putih di belakangnya. “Wow” Aku melihatnya, tapi tidak percaya akan apa yang kulihat. Sudah lama aku menunggu pembalasan dendam ini. Aku mesti mengalami hal-hal yang tidak menyenangkan dulu, tapi akhirnya aku berhasil juga. Kuberikan Maggie pada Carl, lalu aku berlutut dan mendekatkan wajahku ke cacing itu. “Bagaimana rasanya, Micah?”kataku padanya “Bagaimana rasanya punya tubuh basah dan berlendir?" Kupandangi dia, berharap ia akan menjawab. Tapi tentu saja ia tak bisa bersuara. Ia cuma seekor cacing. “Kau jelek sekali sekarang,” kataku. “Kau pasti kehilangan rambutmu, ya?” Micah terus merayap di karpet. “Pasti kau kesal tidak menjadi bos lagi, ya?” kataku. “Yah, biasakanlah. Sekarang aku yang berkuasa di sini, cacing. Gagak itu ada di tanganku. Itu berarti mulai sekarang kau ada di bawah kekuasaanku” Bisakah Micah mendengarku? Apa dia mengerti bahasa manusia? Aku berdiri lagi. Carl memandangi Micah sambil geleng-geleng kepala. “Mungkin sebaiknya kauubah dia jadi manusia lagi,” gumamnya “Ini terlalu jahat, dan agak berbahaya, bukan?” ".Berbahaya?” sahutku. “Maksudmu, dia bisa terinjak tak sengaja oleh kita?” Carl mengangguk. “Baiklah,” aku sependapat. Kuambil kembali Maggie dan Carl. “Kita ubah dia jadi makhluk lain. Sesuatu yang lebih mengasyikkan. Kau yang pilih. Sekarang giliranmu.” “Bagaimana kalau kodok?” saran Carl. “Oke. Bagus. Kodok!” seruku. “Kita suruh dia melompati anak tangga.” "Yeah, dan kita suruh dia makan lalat,” tambah Carl. “Asyik sekali, ya?” kataku. “Aku senang bisa membalas dendam.” Kuangkat Maggie di hadapanku dan kupejamkan mataku. Kuminta Micah diubah menjadi seekor kodok hijau, lalu kugosok punggung Maggie tiga kali. Carl dan aku memandangi cacing gemuk di karpet itu. Cacing itu mulai membesar. Dalam beberapa saat saja Micah berubah menjadi kodok. Lidahnya yang panjang terjulur, dan ia memandangi kami dengan mata kodoknya yang basah dan menonjol. “Dia kelihatan sedih sekali.” seruku, lalu tertawa terbahak-bahak. “Kodok paling sedih yang pernah kulihat,” kata Carl. “Jangan sedih,” kataku pada Micah “Atau kuubah kau menjadi makhluk yang lebih jelek” Kudorong dia sedikit “Ayo lompat!" “Wee-beep, wee-beep” Ia memprotes keras, tapi lalu melompat pendek beberapa kali. Aku hendak mendorongnya lagi, tapi bel pintu berbunyi. “Siapa itu?” seruku. Aku berdiri dan menuju pintu, membukanya. “Iris” Aku terkesiap. Iris memandangku dengan marah dan menyibakkan rambut hitamnya. “Wade... aku yakin kau mengambil sesuatu dari rumahku,” geramnya. Kucoba membanting pintu. Tapi Iris menahannya dengan bahu dan mendesak masuk ke dalam rumah. Napasnya terengah-engah. Wajahnya yang biasanya pucat sekarang merah oleh amarah. Matanya yang gelap berkilat-kilat. “Bagaimana... bagaimana kau bisa menemukan aku?” kataku ketakutan. “Aku tidak pernah memberitahukan alamatku.” “Kakakmu membayarku dengan selembar cek,” ia menjelaskan. “Alamatmu tercantum di situ.” Ia mendekatkan wajahnya ke Maggie. Burung itu berkaok-kaok keras dan mengepakkan sayapnya. “Di mana kakakmu, Wade?” tuntut Iris. “Dia...” Aku menunjuk kodok di karpet itu. "Kau sudah kuperingatkan, jangan main-main, dengan Maggie,” kata Iris. Aku mengangguk. “Ya, tapi aku ingin balas dendam. Kau menipuku, Iris. Kau...” Wajah Iris menegang. Ia menatapku dengan dingin dan jahat. “Mencuri adalah kejahatan yang sangat serius, Wade,” katanya. “Berikan burung itu padaku. Aku mesti memberi pelajaran berat padamu.” “Tidak, jangan!” seruku. Tapi Iris bergerak cepat. Dengan satu seruan keras ia menyerbu ke depan dan menyambar Maggie dari tanganku. 28 IRIS mengangkat Maggie di depan wajahnya “Kau sudah kuperingatkan, Wade,” katanya lagi dengan dingin “Mestinya kau tidak main-main dengan kekuatan yang tidak kaupahami” “Kumohon, Iris,” pintaku. “Aku menyesal telah mengambil Maggie. Tapi aku mesti mengambilnya. Aku...” “Diam” bentak Iris. Carl dan aku sama-sama mundur selangkah. “Kau mesti diberi pelajaran, bahwa mencuri itu tidak baik,” kata Iris. Ia memandangi Micah “Begini saja. Akan kubuat kau bergabung dengan kakakmu di karpet itu.” Aku terkesiap. “Maksudmu... aku akan dijadikan kodok.” Iris mengangguk “Kau dan temanmu itu. Aku tidak mau kau kesepian.” “He” teriak Carl. “Aku salah apa? Bukan aku yang mencuri gagakmu.” “Jangan ganggu Carl.” seruku “Dia tidak berbuat apa-apa. Sungguh!” "Kuharap kalian semua sudah mendapat pelajaran tentang membalas dendam,” kata Iris. “Dan pelajaran itu adalah... pembalasan dendam memang manis, tapi sebaiknya tidak dicoba di rumah. Serahkan saja pada ahlinya.” “Iris... jangan! Jangan!” pintaku lagi. “Tolong jangan ubah kami jadi kodok!” Carl memohon. Tapi Iris memejamkan mata. Dan mulai menggosok punggung Maggie. 29 KUPANDANGI Iris yang menggosok Maggie satu kali, dua kali... lalu aku melompat dan menyambar burung itu dari tangannya. Iris menjerit kaget dan membuka mata. Ia mengayunkan tangan, berusaha merebut Maggie kembali. Tapi aku menghindar dan memegangi burung itu erat-erat “Maaf, Iris,” kataku “Aku tak bisa membiarkanmu mengubah kami menjadi kodok.” Kuangkat gagak itu. Iris mengangkat kedua tangannya ke pipinya. “Kau mau melakukan apa?” tanyanya. “Kurasa aku juga akan membalas dendam padamu,” kataku “Wade kuperingatkan ,“ kata Iris. “Jangan..." Tapi aku tak ingin memberinya kesempatan untuk merebut Maggie kembali. Kupejamkan mataku dan kuminta Iris diubah menjadi kodok. Lalu kugosok punggung Maggie satu kali, dua kali... tiga kali. Ketika aku membuka mata, kulihat Iris memandangiku dengan ngeri. “Apa yang telah kaulakukan?” serunya. “Mengubahmu menjadi kodok,” sahutku. “Tapi kau tidak tahu peraturannya,” protesnya. “Kau sudah kuperingatkan. Ada peraturannya.” “Peraturan apa?” ejekku. “Apa kau tidak tahu bahwa kau hanya bisa mengucapkan tiga permintaan dalam sehari pada Maggie? Apa kau tahu bahwa kalau kau mengucapkan permintaan keempat, maka kaulah yang akan terkena akibatnya?” “Hah?” Aku terkesiap. “Hanya tiga permintaan?” “Berapa permintaan yang sudah kauucapkan hari ini, Wade?” tanya Iris. Aku menhitung dalam hati. 1) Micah berjungkir balik. 2) Micah menjadi cacing. 3) Micah menjadi kodok. “Berapa banyak?” tanya Iris lagi. “Katakan, Wade, berapa permintaan yang sudah kaubuat hari ini?” Mendadak suaranya terdengar sangat jauh. “Wee-beep,” sahutku. “Wee-beep, we-beeeep. “ Dan aku pun melompat di atas karpet, untuk bergabung dengan kakakku. Mungkin pada akhirnya aku tidak ingin membalas dendam pada Iris, pikirku. Kulihat seekor lalat lezat di dinding, di samping sofa. Hmmm. Lalat itu jauh lebih asyik daripada pembalasan dendam apa pun. END Ebook by: Farid ZE Blog Pecinta Buku - PP Assalam Cepu ============================== Ebook Cersil (WWW.ebookHP.COM) Gudang Ebook http://www.zheraf.net ==============================